Morris
D |
i dalam pesawat, terdapat seorang anak kecil membawa tas yang di dalamnya berisi boneka Koala kesayangannya yang dapat berbicara jika ditarik tali yang berada di bagian belakang tubuh Koala boneka. Sementara itu, di samping anak kecil tersebut terdapat seorang laki-laki bertubuh besar dan kekar yang juga membawa tas besar dan resletingnya dibiarkan terbuka sedikit, entah untuk apa dan entah apa isi tas tersebut.
Ibu anak kecil itu tertidur. Bahkan, hampir seluruh penumpang pesawat tertidur. Mungkin karena sangat kelelahan. Tapi ada juga yang menghibur diri karena tidak bisa tidur dengan membaca buku. Anak kecil dan laki-laki bertubuh besar itu juga sama-sama tertidur. Karena sedang tidur, mereka tidak mengetahui kejadian apa yang menimpa tas mereka. Tiba-tiba, resleting tas laki-laki tersebut terbuka lebih lebar. Dari dalam tas laki-laki itulah menyembul sebuah kepala yang berbulu dan berwarna kelabu. Pemilik kepala itu keluar dari tas laki-laki tersebut, kemudian dia berpindah tempat dan masuk ke dalam tas milik anak kecil di sebelah laki-laki bertubuh besar itu. Di dalam sana, dia menemukan sesuatu yang mirip dengan dirinya. Ia juga menukar tempatnya dengan sesuatu itu. Sesuatu yang mirip dengannya itu ia masukkan ke dalam tas laki-laki bertubuh besar. Sedangkan dirinya masuk ke dalam tas anak kecil di sebelah tasnya.
“Hai, jangan berisik dan memberitahu orang itu ya, kalau aku dan kau bertukar tempat,” bisiknya kepada sesuatu itu. Sesuatu itu diam saja dan membiarkan dirinya bertukar tempat dengan si Pemilik kepala. Beberapa jam setelah kejadian itu, Pesawat pun akhirnya sampai dan mendarat dengan selamat di bandara. Anak kecil itu bersama ibunya segera turun dari pesawat, dia menyadari tas menjadi sedikit lebih berat dari sebelumnya. Di belakang mereka laki-laki besar itu juga bergegas turun. “Bu, apa kira-kira kakek sudah menjemput kita, atau belum?” kata anak kecil itu. “Ibu tidak dapat memastikannya, Eddy.”
Sementara, laki-laki besar itu menelepon seseorang dengan ponselnya. Mungkin temannya. “Aku sudah mendapatkannya, dia sangat spesial, indah, bagus, dan dapat berbicara,” katanya. “Bagus John! Bagus! Kau sungguh pintar,” jawab sebuah suara di seberang sana melalui perantara ponsel. Eddy dan ibunya bertemu dengan kakek Eddy. Ternyata, dia sudah menunggu Eddy dan ibunya di bandara.
Saat Eddy sedang sibuk di kamarnya, tas ransel Eddy terbuka agak lebar dengan sendirinya dan kembali menyembul kepala berbulu dan berwarna kelabu itu. “Seharusnya kubuka sedikit resletingnya agar aku dapat bernapas, di dalam sana pengap sekali!” kata si Pemilik kepala mengeluh. Karena si Pemilik kepala berbicara agak keras, Eddy menoleh kebelakang dan melihat si Pemilik kepala.
Eddy mendekatinya, dia tahu binatang apa itu dan sekaligus bingung bagaimana boneka kesayangannya itu dapat berbicara di luar kata-kata, “Hai! Aku Morris, siapa namamu?” atau “Aku sangat merindukanmu.” Tapi kali ini dia berbicara sendiri tanpa ada yang menarik talinya dan mengucapkan kata-kata selain itu. “Morris, apa kau menjadi hidup?” tanya Eddy. “Tentu saja, aku ini binatang sungguhan... tapi, siapa Morris dan kenapa kau memanggilku dengan nama itu?” kata si Pemilik kepala yang tidak lain adalah seekor Koala yang dapat berbicara. Eddy terkejut. Baru kali ini dirinya melihat binatang yang dapat berbicara. “Lalu, kau apakan boneka koala kesayanganku?” tanya Eddy yang teringat akan bonekanya. “Oh, ya.. aku dan dia bertukar tempat,” jawab koala itu dengan bangga karena telah berhasil membebaskan diri dari laki-laki bertubuh besar dan kekar itu.
Eddy terdiam. Ia sedikit rindu dengan bonekanya itu. Tapi dia juga sangat senang karena mendapatkan gantinya yang lebih spesial. “Bagaimana caranya kau bisa masuk ke dalam tasku dan bertukar tempat dengan bonekaku?” tanya Eddy beberapa saat kemudian. “Apa kau ingat dengan seorang laki-laki bertubuh besar dan kekar yang duduk di sebelahmu?” hewan itu balik bertanya. “Dia itu jahat,” lanjutnya. “Jahat? Kukira dia sangat baik, dia meminjamkanku beberapa komik yang sangat kusukai. Kenapa kau bilang dia jahat?” tanya Eddy heran. “Entahlah tapi perasaanku berkata, dia tidak bermaksud baik padaku.” Jawab koala tersebut. “Kenapa kau mempunyai prasangka buruk kepadanya, ibu pernah mengatakan kepadaku kalau berprasangka buruk terhadap orang lain itu tidak benar dan tidak bagus untuk dilakukan,” kata Eddy. “Tapi kenapa dia menculikku dari tempat asalku?” tanya koala tersebut.
“Ehm..itu..i..itu.. baiklah, masuk akal juga,” jawab Eddy kehabisan kata-kata. “Hmmmh...,” desah koala itu. “Baiklah, aku akan menceritakan ini semua kepada ibu!” kata Eddy bersemangat. “Terserahmu saja, tapi aku tidak yakin dia akan percaya dengan ceritamu, aku ingin beristirahat selama mungkin. Perjalanan ini sangat melelahkanku!” kata koala itu sambil menguap. “Ibu! Ibu! Aku ingin memberitahumu sesuatu!” teriak Eddy tidak sabar sambil menandak-nandak kegirangan. “Apa yang akan kau beritahukan kepadaku Eddy?” tanya ibunya dengan tenang. “Morris menjadi hidup! Sebenarnya dia tidak benar-benar menjadi hidup, dia hanya bertukar tempat dengan seekor koala yang dapat berbicara!” jawab Eddy bersemangat. “Koala yang dapat berbicara? Aku tidak tahu Eddy, apa ini hanya khayalanmu saja atau tidak,” kata ibunya sedikit tidak percaya. “Hmmm, baiklah kalau ibu tidak percaya, aku ingin bermain lagi. Ternyata benar kata Morris, ibu pasti tidak akan memercayainya,” kata Eddy sedikit kecewa.
Eddy masih tetap memanggil koala itu dengan nama Morris, nama boneka koala kesayangan miliknya. “Hai! Bagaimana dengan ibumu? Apa dia memercayainya?” tanya Morris (sebenarnya koala itu belum mempunyai nama, karena dia mirip dengan Morris boneka koala Eddy, jadi kupanggil saja dia Morris. Eddy pun memanggilnya dengan nama Morris). “Kau benar, dia tidak memercayainya. Ibuku selalu begitu jika aku menceritakan sesuatu yang baginya tidak masuk akal. Hei! Mungkin kakek percaya, dia selalu mendengarkan dan mempercayai ceritaku,” pikir Eddy bersemangat.
Eddy segera menemui kakeknya. Dia mengetuk pintu kamar kakek. Tidak ada jawaban. Eddy mengetuk sekali lagi. Masih tidak ada jawaban. Karena tidak sabar, Eddy langsung membuka pintu kamar kakek. Eddy melihat ke sekeliling kamar, tidak ada kakek di situ. “Kemana kakek?” pikir Eddy. Eddy segera mencari ibunya. “Bu! ibu! apa ibu tahu kakek ada di mana?” tanya Eddy. “Kakekmu sedang pergi. Dia bilang dia ada urusan dan sedang pergi untuk mengurusnya, kenapa kau menanyakannya?” tanya ibu. “Aku ingin memberitahu kakek tentang teman baruku.” “Oh ya, koala yang dapat berbicara?” tebak ibunya. “Yeaah..,” jawab Eddy. “Baiklah, aku akan menunggu kakek,” lanjutnya. “Baik,” jawab ibu Eddy.
“Ada apa?” tanya Morris sambil mengunyah daun dari tanaman yang ada di kamar Eddy. “Kakek belum pulang,” jawab Eddy lesu. “Sudahlah, sebaiknya kau rahasiakan saja tentang aku dapat berbicara,” kata Morris. “Memangnya kenapa?” tanya Eddy bingung. “Sekarang ini, mungkin orang bertubuh besar itu sudah menyadari bahwa aku tidak ada. Dia pasti akan mencariku,” jawab Morris. “Hmmm, benar juga, baiklah aku tidak akan memberitahu kakek tentang hal ini,” kata Eddy.
Malam pun tiba. Eddy merasa sangat ingin membaringkan tubuhnya di tempat tidurnya yang nyaman dan hangat. Dia pun segera menuju ke kamarnya sambil membayangkan betapa nikmatnya membaringkan tubuh di tempat tidur. Sesampainya di depan pintu kamar, Eddy segera masuk ke kamar dan menemukan Morris sudah menguasai tempat tidurnya sambil mendengkur. “Morris, apa yang kau lakukan? Ini tempat tidurku,” kata Eddy sambil menguap. “Ehmm, aku juga mengantuk, kau tahu? Aku juga ingin tidur,” jawab Morris setengah tertidur. “Hoamm... baiklah, geserlah sedikit. Aku juga ingin tidur.” Eddy pun tertidur dengan koala di sampingnya.
“Haaah? Sudah jam berapa ini?” tanya Eddy panik. “Kau kenapa?” Eddy kaget. Dia tidak ingat kalau di rumahnya ada koala yang dapat berbicara. “Oh ya, tentu saja..,” kata Eddy. Eddy segera melihat ke arah jam dinding di kamarnya. Masih banyak waktu bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Dia segera bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas ke kamar mandi. Setelah itu, Eddy segera memakai pakaiannya. “Habiskan sarapanmu, Eddy,” kata ibunya. “Baik, bu. Ibu tidak perlu khawatir, masih banyak waktu,” kata Eddy. “Baiklah ibu ke halaman belakang dulu, Ibu akan membereskan kebun,” kata ibunya lagi. “Okay,” balas Eddy. Setelah menghabiskan sarapannya, Eddy masuk kembali ke kamarnya. “Baiklah Morris, aku akan pergi ke sekolah. Dan kau, jangan berbuat sesuatu yang dapat membuat ibuku dan kakekku curiga kalau ada orang lain di kamarku,” pesan Eddy. “Aku mengerti,” jawab Morris yang sudah biasa di panggil Morris oleh Eddy.
Eddy pergi ke sekolahnya mengendarai sepeda yang diberikan oleh ayahnya pada saat ia berulang tahun. Eddy sangat menyayangi sepeda itu. Kemana pun Eddy pergi dia selalu mengendarai sepedanya. Ayah Eddy adalah seorang dosen di sebuah perguruan tinggi sekaligus ilmuwan. Sedangkan, ibunya adalah seorang profesor yang sangat pintar. Mereka mempunyai sebuah laboraturium kecil di halaman belakang, di kebun.
“Hei!” sapa Ray, teman dekat Eddy. “O ya, jadi bagaimana?” tanya Eddy. “Ehmm, ibuku bilang.. mungkin lain kali saja. Saat ini dia sedang membutuhkan aku di rumah,” jawab Ray. “Baiklah, aku punya sesuatu yang akan aku tunjukkan kepadamu dan hanya kau yang akan aku beritahu, jadi jaga baik-baik rahasia ini, Ray,” kata Eddy. “Kau tenang saja, Eddy. Aku ini pintar menjaga rahasia,” jawab Ray. “Hmm, baiklah kalau begitu. Ikutlah kerumahku, kau pasti akan terkejut dan tidak memercayainya,” kata Eddy.
“Memangnya apa yang akan kau tunjukkan padaku, Eddy?” tanya Ray tidak sabar. “Kau lihat saja nanti,” jawab Eddy singkat. Mereka pun sampai di rumah Eddy. “Bu, aku pulang!” seru Eddy. “Ray juga ikut,” lanjutnya. “Eddy,” panggil Ray. “Ya, oh.. aku tahu! Ayo ke kamarku!” ajak Eddy bersemangat. “O ya!” jawab Ray bersemangat pula. Ray sangat senang dan bersemangat. Sebentar lagi ia akan melihat sesuatu yang menakjubkan yang orang lain tidak diberitahu oleh Eddy. Ini adalah rahasia yang sangat besar, pikirnya.
Eddy membuka pintu kamar. Masuk ke kamarnya. Di belakang Eddy, Ray mengikuti. Ray melihat ke sekeliling kamar Eddy, dia melihat seekor koala di atas tempat tidur Eddy sedang bersantai-santai. Saat koala itu menyadari dirinya sedang diperhatikan, Ia langsung menyelinap masuk ke dalam selimut Eddy. Ray terkejut melihatnya. “Ayolah Morris, dia temanku, Ray. Hanya dia yang kuberitahu tentang dirimu,” bujuk Eddy. “Apa perkataanmu itu benar?” tanya Morris. Ray kembali terkejut. Koala ini bukan koala biasa, dia dapat berbicara seperti manusia. “Tentu saja,” kata Eddy.
“Apa ini benar-benar ada?” tanya Ray sedikit tidak percaya. “Ini benar-benar ada, Ray,” jawab Eddy meyakinkan. “Wow!” seru Ray. Morris pun keluar dari balik selimut Eddy. “Hai! Ehmm, Morris,” sapa Ray kemudian. “Hai Ray!” jawab Morris bersemangat setelah yakin kalau anak ini tidak berbahaya bagi dirinya. “Wow!” seru Ray sekali lagi. “Kenapa kau berteriak seperti itu? dan kenapa dua kali?” tanya Morris sedikit bingung, kenapa teman Eddy ini terlihat aneh dan terkejut melihatnya. “Ya, aku tidak tahu. Dia keluar begitu saja dari mulutku,” jawab Ray. “Mungkin karena Ray terkejut melihat koala yang dapat berbicara bahasa manusia,” kata Eddy. “O ya, mungkin juga,” kata Morris, menyadari bahwa dirinya termasuk langka. Mungkin juga, spesial.
Ibu masuk ke kamar Eddy, karena mendengar keributan. Morris terkejut dan langsung bersembunyi di balik selimut Eddy, lagi. Untung saja ibu tidak sempat melihat dan menyadari keberadaan Morris. “Oh, hai anak-anak! Kalian sudah pulang, ya? maaf, ibu tidak mendengarnya, Eddy. Ibu sedang membereskan dapur, halaman belakang dan mengurus kebun,” kata ibu. “O ya, tak apa bu. Aku mengerti,” jawab Eddy. “Baiklah, anak-anak. Aku akan kembali mengurus semua itu. Oh ya, jangan membuat kamar berantakan, okay?” kata ibu lagi. “Okay,” jawab Ray dan Eddy berjanji. Ibu pun keluar dari kamar Eddy. Setelah mendengar bunyi pintu ditutup, Morris mengintip keluar dari balik selimut Eddy. “Apa sudah aman?” tanyanya memastikan. “Sudah Morris,” jawab Eddy. “Sekarang kau bisa keluar, Morris,” lanjut Ray.
Morris pun keluar dari tempat persembunyiannya. “Hah, kau tahu? Aku sangat lapar,” kata Morris mengeluh. “Boleh aku meminta daunmu lagi?” tanyanya pada Eddy. “Hmm, baiklah. Mungkin itu memang makanan kesukaanmu. Jadi kuberikan saja untukmu,” kata Eddy. “Daun pohon Eukaliptus adalah makanan yang paling kusukai!” serunya. “Oops!” lanjutnya. “Tak apa, ibu tidak akan mendengarnya. Dia sedang di halaman belakang. Kalaupun mendengar, Aku dan Ray bisa berpura-pura menjadi suara Morris bonekaku yang bertukar tempat denganmu, aku sering melakukannya. Jadi, ibu tidak akan curiga,” kata Eddy. “Hmmm... Eddy, Ray, apa kalian mau melihat gambar ibuku?” tanya Morris. “Hmmm, Boleh juga,” jawab Eddy. “Ya! Tentu saja kami mau,” kata Ray. “Baiklah, kalau begitu! aku mempunyai fotonya. Dari seorang manusia yang baik hati. Dia memfoto aku yang sedang bersama ibu, dan memberikan foto itu kepada ibuku. Lalu, ibuku memberikannya kepadaku,” jelas Morris. “Kalian mau melihatnya?” tanya Morris lagi. “Ya!” jawab Eddy dan Ray bersemangat. “Ini dia,” kata Morris. Apa kau juga mau melihatnya? Ya! tentu saja, ini dia:
“Wah, Morris! Kau terlihat begitu kecil dan lucu!” seru Ray. “Ya! benar! Kau sangat menggemaskan Morris,” lanjut Eddy. “Ya, itu fotoku waktu masih bayi bersama ibuku,” jawab Morris bahagia. Kemudian, ia terlihat agak sedih. “Kau kenapa, Morris?” tanya Eddy. “Aku rindu pada ibu, keluarga, dan teman-temanku,” jawab Morris. “Tenanglah Morris. nanti kalau situasi sudah aman, aku akan mengembalikanmu ke habitat aslimu, atau kurang lebih ke tempat di mana kau dan teman-temanmu dapat berkumpul,” kata Eddy menenangkan. “Baiklah, aku beruntung bertemu denganmu!” seru Morris kemudian.
“Eddy, rasanya ini sudah terlalu lama. Mungkin ibu memerlukan bantuanku di rumah. Tenang saja Eddy, aku akan menjaga rahasia ini baik-baik,” kata Ray. “Ehmm, kau benar. Baiklah, mungkin ibumu memerlukanmu di rumah. Sampai jumpa besok Ray,” balas Eddy. “Ya! sampai jumpa besok Eddy!” sahut Ray. “Kau tahu? Aku sangat mengantuk,” kata Morris. “Heh–koala memang si tukang tidur,” canda Eddy. “Ya, ya, ya,” balas Morris. “Hmm, aku ingin berpesiar saja dengan sepeda. Pasti sangat menyenangkan!” seru Eddy. “Berpesiar menggunakan sepeda? Aku belum pernah merasakannya. Apa aku boleh ikut?” tanya Morris. “Bukankah kau ingin tidur saja dan membaringkan tubuhmu di atas tempat tidur yang nyaman dan hangat?” goda Eddy. “Heh, kau ini. aku tidak jadi tidur, aku ikut saja denganmu,” kata Morris. “Ya, baiklah. Tapi itu berarti kau harus siap di masukkan ke dalam tas,” goda Eddy lagi. “Aku sudah siap. Tapi kau harus membuka sedikit resletingnya agar aku dapat bernapas,” kata Morris. “Baiklah, Morris,” kata Eddy menurut.
“Hei! Jangan kencang-kencang!” kata Morris mengeluh. “Memangnya kenapa kalau aku kencang-kencang?” tanya Eddy. “A..a..aku, takut,” kata Morris mengaku. “Oo.. jadi kau takut, ya,?” goda Eddy. “Kau kan tahu sendiri, aku ini baru pertamakali pesiar dengan sepeda,” kata Morris membela diri. “O ya, aku tidak teringat akan hal itu Morris,” kata Eddy agak menyesal telah menggoda Morris. “Ehmm, tak apa Eddy. Kau sudah cukup baik mau mengajakku berpesiar,” hibur Morris. “Mungkin sekarang sudah hampir waktunya makan siang. Kita tidak boleh terlambat, Morris,” kata Eddy khawatir.
Eddy segera mempercepat goesan sepedanya. “Untung saja kita tidak terlambat, Morris, masih ada waktu lima menit,” kata Eddy. “Ya, sebaiknya aku mengantarmu ke kamar,” lanjutnya. “Ya, tentu saja kau harus mengembalikan aku ke kamar,” jawab Morris. “Eddy, waktunya makan siang,” panggil ibu dari bawah. “Aku segera datang, bu,” teriaknya dari atas. “Kakek belum pulang juga bu?” tanya Eddy pada ibunya ketika ia sudah berada di bawah. “Belum. Jangan makan tergesa-gesa seperti itu Eddy,” kata ibunya. “Maaf bu, aku sangat lapar,” jawab Eddy. “Yah, kau harus belajar bersikap sopan Eddy,” kata ibunya lagi.
Besok, orangtua Eddy akan pergi berlibur. Berdua saja. Eddy tinggal dirumah bersama kakeknya dan juga Morris. Kakek Eddy masih tidak mengetahui keberadaan Koala yang dapat berbicara di rumahnya. Kakek Eddy, kau harus mengetahuinya. Ia sangat baik kepada Eddy dan selalu memercayai semua yang Eddy beritahu padanya. Tetapi, terkadang sifat keras kepalanya sering membuat Eddy takut. Karena, dia bisa menjadi sangat marah bila ada sesuatu hal yang tidak sesuai dengan yang dia inginkan. Tapi dia tidak pernah memarahi Eddy karena rasa sayangnya pada Eddy telah mengalahkan sifat pemarahnya begitu melihat cucunya ketika dia berbuat kesalahan yang lumayan besar. Ia hanya berkata, “Tapi kau harus berjanji padaku untuk tidak berbuat seperti itu lagi,” dengan lembut pada Eddy.
“Selamat menikmati liburan,” kata Eddy pada orangtuanya saat mereka akan pergi berlibur. “Baik-baik di rumah, dan jangan membuat kakekmu susah untuk menjagamu,” pesan ibu. “Dengarkan kata-kata ibumu, Eddy. Jadilah anak baik,” kata ayah Eddy. “Tentu saja bu, yah, jangan mengkhawatirkan aku. Ibu dan ayah harus pergi menikmati liburan dengan tenang,” kata Eddy. “Baiklah, kami akan berangkat sekarang juga,” kata ayahnya. “Ingat, jadilah anak baik,” pesan ibunya sekali lagi. “Okay, okay, bu, ibu dan ayah tenang saja, aku tidak akan berbuat yang macam-macam, kok,” jawab Eddy. “Kami percaya padamu,” kata ibunya lagi. Mobil pun segera berjalan: perlahan-lahan setelah itu melaju dengan cepat. Eddy dan kakeknya segera masuk ke dalam rumah. Sementara Morris, mengintip lewat jendela di kamar Eddy.
Makan malam kali ini hanya ada Eddy dan Kakek. Sementara Morris, berada di kamar Eddy sambil memakan daun Pohon Eukaliptus karena takut kakek mengetahui keberadaannya dan membawa dirinya ke kebun binatang untuk tinggal di sana. Morris merasa ingin berjalan-jalan. Tapi tidak jadi karena baginya di luar sana tidak cukup aman untuk dirinya. Mungkin saja lelaki bertubuh besar itu atau teman-temannya masih berusaha mencari dirinya karena dia menyadari bahwa dirinya termasuk langka dan sulit untuk mendapatkan yang seperti dirinya.
“Kek, bolehkah aku pergi berpiknik besok?” tanya Eddy setelah menghabiskan makan malamnya. “Hmm, sebenarnya boleh saja. Tapi.. aku tidak yakin kau bisa menjaga dirimu sendiri, Eddy,” jawab kakek. “Tapi kek, aku ini kan sudah berumur sepuluh tahun. Aku juga sudah bisa menjaga diriku sendiri,” kata Eddy. “Baiklah, tapi.. rasanya aku ingin berpiknik juga. Sudah lama aku tidak bersantai-santai. Terutama bersama cucuku tersayang. Selama ini aku terlalu disibukkan oleh pekerjaan-pekerjaan itu. Aku akan ikut denganmu Edd,” kata kakek. Eddy merasa kecewa. Ia sama sekali tidak menginginkan kakek ikut karena ia akan mengajak Morris. Eddy diam saja. “Hei Morris, aku ingin mengajakmu pergi berpiknik besok di atas bukit. Di bawah bukit itu langsung bertemu dengan laut. Tapi kita tidak bisa mandi-mandi di sana karena terlalu berbahaya,” kata Eddy ketika ia sedang berada di kamar saat akan pergi tidur. “Berpiknik? Kau yakin di sana aman?” tanya Morris. “Tenang saja, di sana jarang sekali ada orang. Aku menyukai tempat itu. Karena dari sana aku dapat melihat pemandangan yang sangat indah. Tapi ada satu masalah,” kata Eddy. “Masalah? Masalah apa?” tanya Morris lagi. “Kakek akan ikut berpiknik dengan kita. Rasanya tidak enak bila ada orang dewasa yang ikut bersenang-senang dengan kita. Tapi itu kan juga berarti kau harus dimasukkan ke dalam tasku lagi,” kata Eddy kecewa. Morris juga kecewa. Ia tidak terlalu senang bila harus di masukkan ke dalam tas apabila akan berjalan-jalan dan bersenang-senang dengan Eddy. “Mudah-mudahan, kakekmu itu berubah pikiran atau mendadak ada urusan yang harus segera diurus,” kata Morris. “Ya, mudah-mudahan saja,” jawab Eddy.
Ternyata, kakek jadi ikut berpiknik. tapi hanya sebentar saja karena kakek ada urusan yang harus di urusnya nanti. “Eddy, aku ada urusan. Jadi, aku harus pergi sekarang,” kata kakek. “Apa kau ingin pulang sekarang? Atau ingin berjalan-jalan saja?” lanjutnya. “Ehm, aku berjalan-jalan saja, kek. Lagi pula, di rumah juga tidak ada siapa-siapa. Jadi, tidak ada gunanya aku pulang ke rumah,” kata Eddy. “Baiklah, kalau begitu aku pergi sekarang,” kata kakek. “Okay,” jawab Eddy.
Setelah kakek pergi dengan mobilnya, Eddy segera mengeluarkan Morris dari tasnya. Mereka berdua berjalan-jalan di sekitar bukit itu. Di kaki bukit itu terdapat sebuah pelataran kereta api dan sebuah gubuk tua yang sudah tidak berpenghuni lagi. Jika berjalan terus ke belakang gubuk tua tersebut, kau dapat dibilang telah memasuki hutan di daerah itu. pada mulanya hanya baru terlihat pepohonan yang jarang-jarang. Tetapi, masuk sedikit lebih jauh lagi pepohonan di sana sudah mulai lebat dan bisa saja tersesat di sana. Eddy dan Morris bermain-main di sekitar pelataran kereta api itu sampai mereka merasa lapar dan segera mengeluarkan bekal makanan yang mereka bawa dari rumah.
Eddy merapikan dan membersihkan sisa-sisa makanan mereka. Lalu, mereka melanjutkan dengan bermain dan berjalan-jalan sebentar di bukit itu. Di sisi jalan setapak yang mereka lalui, mengalir sebuah sungai yang jernih airnya dan segar untuk diminum. Setelah mereka berdua telah puas berjalan-jalan dan bermain, mereka kembali pulang ke rumah. Morris dimasukkan kembali ke dalam tas seperti biasa agar tidak ada orang yang tahu dan melihat Morris.
Mereka sampai di depan pintu rumah. Kakek belum pulang karena pintu masih terkunci. Eddy membawa cadangan kuncinya karena kakek mungkin pulang lebih lama dari mereka. Eddy segera menuju kamarnya. Ketika sudah sampai, Eddy segera membuka pintu kamarnya dan mengeluarkan Morris dari dalam tas. Mereka bermain-main seperti biasa. Morris memakan daun kesukaannya yaitu daun Eukaliptus dan Eddy membaca buku cerita kesukaannya.
Ketika mereka sedang bermain seperti biasa, terdengar suara klakson mobil di bawah. Eddy mengintip dari jendela kamarnya yang menghadap ke jalan. Saat Eddy melihat mobil tersebut, dengan segera ia tahu bahwa kakek telah selesai dengan urusannya dan pulang ke rumah. Eddy bergegas turun ke bawah untuk menemui kakek yang disayanginya itu dan meninggalkan Morris yang sudah terlelap di tempat tidur Eddy sendirian di kamar. “Eddy! Kau sudah pulang? Apa kau baik-baik saja?” tanya kakek. “Sudah kek, dan aku baik-baik saja,” jawab Eddy. Mereka berdua pun masuk ke rumah.
“Bagaimana jalan-jalanmu Eddy?” tanya kakeknya ketika mereka berdua sedang menyantap makan malam mereka. “Menyenangkan! Sangat menyenangkan!” jawab Eddy semangat. “Apa kau tidak merasa bosan dan kesepian berjalan-jalan sendirian?” “Tentu saja tidak, aku dapat menikmati alam tanpa ada keributan seperti lalu lintas yang padat di kota. Untung saja kita tinggal di tempat yang jauh dari bisingnya kendaraan bermotor,” Kata Eddy. Mereka segera menghabiskan makan malam mereka. setelah itu, mereka bercanda dan tertawa bersama sambil menonton TV.
Besok ayah dan ibu Eddy akan kembali pulang ke rumah dari liburan mereka. Eddy ingin menyambut mereka dengan spesial dan menunjukkan bahwa dirinya telah menjadi anak baik sesuai dengan pesan orangtuanya sebelum mereka pergi berlibur. Eddy dan Morris sedang berada di kamar sambil berbincang-bincang, “Mudah-mudahan saja orang bertubuh besar itu tidak akan pernah menemukanku.” “Tapi, pasti dia akan mencari penggantimu yang mungkin saja saudara-saudaramu yang sama spesialnya sepertimu,” kata Eddy. “Yeah, kau mungkin saja benar, Eddy. Dan aku sangat, sangat, tidak menginginkan hal itu terjadi,” jawab Morris. “Yeah, tentu saja. Aku pun begitu.”
Hari ini, Eddy dan kakek ( juga Morris yang sengaja tetap ditinggalkan di kamar agar orangtua Eddy tidak mengetahuinya ) akan menyambut kedatangan orangtua Eddy. Mereka tidak menjemputnya karena orangtua Eddy mengenderai mobil milik mereka sendiri. Setelah menunggu agak lama, terdengar suara klakson mobil yang sudah tidak asing lagi di telinga Eddy. Suara klakson mobil milik orangtuanya. Eddy segera berlari membukakan pintu untuk orangtuanya. Kakek mengikuti Eddy di belakangnya. “Ayah! Ibu! Bagaimana liburan kalian? Menyenangkan? Aku sangat merindukan kalian!” seru Eddy sambil berlari memeluk orangtuanya bergantian. “Tentu saja sangat menyenangkan, sayang. Kami juga sangat merindukanmu Edd. Apakah kau sudah menjadi anak baik seperti yang kami pesankan kepadamu?” tanya ibunya. “Wah, ibu masih ingat saja soal itu. Ibu tenang saja, selama ini aku tidak pernah menyusahkan kakek.” Ibu tersenyum mendengar jawaban Eddy. Lalu mereka ber-empat masuk ke rumah sementara kakek dan ayah berbincang-bincang sambil memasuki rumah.
Morris merasa sangat lapar. Daun pohon yang diberikan Eddy sudah hampir habis. Tapi itu tidak jadi soal selama daun di pohon itu belum habis seluruhnya. Dia pun mulai memakan daun pohon Eukaliptus Eddy yang diberikan kepadanya. Saat Eddy sedang berkumpul bersama keluarganya, Morris merasa sangat kesepian. Dia tahu bahwa Eddy sangat merindukan orangtuanya. Morris berjalan turun dari tempat tidur menuju jendela kamar Eddy. Dia hanya membutuhkan sedikit lompatan untuk mencapai lantai kamar Eddy yang dilapisi karpet ( hanya di bagian bawah tempat tidur ). Morris memanjat meja belajar Eddy yang memang sengaja ditempatkan di samping jendela agar Eddy dapat melihat pemandangan di bawahnya. Morris mengamati mobil besar berwarna hitam dengan kecepatan yang lumayan tinggi sedang lewat. Orang yang menyetir mobil itu seperti sedang mencari-cari alamat atau sesuatu. Morris tidak memikirkannya lebih jauh lagi. Ia melompat turun dari jendela dan naik ke tempat tidur lagi untuk pergi tidur.
Setelah Eddy dan keluarganya selesai makan malam, mereka semua membereskan sisa makanan dan peralatan makan kembali lalu mengucapkan selamat tidur dan masuk ke kamar masing-masing. Eddy menemukan Morris sudah tertidur lelap di tempat tidur. Ia pun membaringkan tubuhnya di sebelah Morris dan segera terlelap. Besok, adalah hari senin dan dia akan pergi ke sekolah seperti biasa. Rencananya, Eddy dan Ray akan berjalan-jalan dan bermain-main. Morris akan diajak dan dijemput pada saat Eddy dan Ray pulang sekolah. Jadi, mereka pergi ke rumah Eddy terlebih dahulu untuk menjemput Morris lalu setelah itu mereka pergi bersenang-senang.
“Bagaimana Ray? Jadikah kita pergi barjalan-jalan dengan Morris?” tanya Eddy memastikan. “Tentu saja, aku sudah menanti hal itu dari tadi malam. Sampai-sampai aku bermimpi tentang hal itu dalam tidurku,” jawab Ray. “Haha.. kau terlalu berlebihan Ray. Ayo kita masuk kelas.” Mereka pun masuk ke kelas sesuai mata pelajaran sehabis istirahat makan siang. Ketika bel berbunyi tanda pelajaran telah usai dan waktunya untuk kembali pulang ke rumah, semua murid berhamburan keluar kelas berebut untuk mendapatkan giliran pulang pertama. Eddy dan Ray sempat saling mencari karena banyaknya murid di lorong sekolah. Mereka bertemu ketika sudah banyak anak yang berhamburan ke jalanan dengan mengendarai sepeda, jalan kaki, atau kendaraan lainnya seperti schooter, skateboard, dan sepatu roda untuk menuju rumahnya masing-masing. Sementara, Eddy dan Ray, keduanya mengendarai sepeda. Sesuai dengan rencana, mereka terlebih dahulu pergi ke rumah Eddy untuk menjemput Morris dan setelah itu baru mereka memulai perjalanan menyenangkan mereka.
Setelah mengetahui hilangnya Morris di pesawat, lelaki bertubuh besar itu bersama teman-temannya selalu mencari informasi tentang keberadaan Koala tersebut. Sampai mereka mendapat informasi dari seseorang yang tidak sengaja melihat seorang anak kecil bersama seekor koala sedang berjalan-jalan dan bermain-main di Pelataran Kereta Api sebulan yang lalu. Kebetulan orang itu mempunyai daya ingat yang cukup kuat untunk mengingat hal-hal seperti itu. Ketika mengetahui informasi tersebut, mereka segera mencari tahu di mana tempat tinggal anak itu. Sampai saat ini pun Eddy tidak mengetahui bahwa ada yang mengincar Morris sehingga Morris terancam bahaya.
Lelaki bertubuh besar yang bernama John yang pernah bertemu dengan Eddy di dalam pesawat pada saat Morris bertukar tempat, mendatangi bukit tempat Eddy pernah berpiknik bersama kakek dan Morris untuk memeriksa apakah anak yang membawa seekor koala mendatangi tempat itu lagi setelah mendapatkan sedikit informasi tentang hal tersebut. Dia memikirkan bahwa mungkin saja koala tersebut adalah koala yang dicarinya yang memiliki kedudukan spesial. Kali ini John datang sendirian, tidak bersama teman-temannya atau lebih tepatnya orang-orang suruhannya. Lelaki bertubuh besar itu datang dengan mengendarai mobil hitam besarnya. Dia turun ke kaki bukit untuk memeriksa Pelataran Kereta Api dengan sembunyi-sembunyi karena yakin bahwa koala tersebut atau yang sudah akrab dipanggil dengan nama Morris dan juga anak yang bernama Eddy pasti mengenali mereka karena mereka bertiga sudah pernah berjumpa di dalam pesawat. Tetapi, tidak ada orang di situ baik koala dan anak itu maupun orang lain yang dapat ditanyainya tentang keberadaan Morris.
Ketika lelaki bertubuh besar itu kembali lagi ke atas bukit, dia melihat seorang anak membawa ransel yang tampaknya sedikit berat memakai topi berwarna merah sedang menikmati pemandangan laut yang berwarna biru tua dan sangat indah. Jika dilihat dari belakang, anak tersebut memang sangat mirip sekali dengan anak yang ditemuinya di dalam pesawat. John mendekati anak itu perlahan-lahan untuk melihat siapa anak itu sebenarnya. Ketika dia sudah semakin dekat, ayah dan ibu anak itu memanggilnya, “Kiev! Waktunya untuk pulang. Hari sudah gelap, sayang.” John segera bersembunyi di antara semak-semak yang berada di bukit tersebut.
Dia memperhatikan anak yang dicurigai membawa Koala Istimewanya itu. Ketika anak itu membalikkan badannya, dia merasa kecewa telah salah menduga bahwa anak tersebut adalah anak yang dicarinya. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya kepada orang yang menyuruhnya mencari Koala Istimewa itu. John takut ‘Bos’nya itu marah dan memecatnya dari pekerjaannya sebagai asisten ‘Orang’ itu. John juga menganggap bahwa pekerjaannya dengan ‘Orang’ tersebut sangat penting dan menghasilkan banyak keuntungan. Akhirnya dia pun pulang dan akan mengatakan bahwa hari sudah gelap dan sulit untuk menemukan anak tersebut beserta Koalanya.
John memencet tombol pembuka pintu otomatis sebuah toko yang bangunannya tampak megah dan menjual banyak boneka koala seperti punya Eddy kepada anak-anak kecil. Tapi yang ini lebih spesial. Dia memasuki lift toko tersebut dan naik ke-tingkat paling atas. Lantai paling atas adalah sebuah kamar ( sebenarnya terlalu sederhana jika disebut kamar: Kamar itu sangat luas dan dialas oleh karpet beludru yang sangat lembut. di sana terdapat meja makan yang lumayan panjang beserta kursi-kursinya, dua tempat tidur besar yang sangat nyaman, sebuah dapur lengkap dengan peralatan memasak yang juga sangat lengkap dan sebuah kulkas besar penuh makanan dan minuman ringan, kamar mandi yang cukup mewah, dan sebuah sofa panjang yang nyaman) tempat John dan ‘Orang’ itu tinggal selama ini. Ketika John keluar dari lift dan memasuki kamar, seseorang sedang bersantai-santai di atas sebuah sofa panjang sambil memegang buku catatan, ballpoint, dan mulai menuliskan sesuatu.
Mendengar suara orang datang, orang itu menghentikan apa yang sedang dilakukannya saat ini dan melihat ke arah lift pintu masuk dan keluar dari ruangan tersebut. John masuk dengan wajah lesu, “Aku belum menemukan anak itu beserta Koala kita, Williams.” Orang yang merupakan pemilik toko serta atasan dari John dan ternyata bernama Williams tersebut hanya menghela napas. Seakan-akan John telah sering melakukan kesalahan, kecerobohan, kelengahan, seperti sekarang. “Baiklah, aku sedang tidak ingin marah dan berdebat denganmu John. Aku berikan kau satu kesempatan lagi. Kali ini, kau harus menemukan anak tersebut beserta Koala kita. Jika kau gagal, aku tidak akan ragu untuk memecatmu beserta kaki-tanganmu dari pekerjaan kalian saat ini. Dan aku akan mencari orang yang lebih pantas darimu untuk melakukan pekerjaan ini. Aku tidak mau uangku berkurang hanya karena aku telah memberimu biaya untuk menangkap Koala tersebut dan kau bahkan sekarang menghilangkannya, John.” “Yeah, baiklah. Akan aku gunakan kesempatan terakhir ini untuk membuat kau bahagia, Williams.” Lalu dia pun pergi beristirahat di salah satu tempat tidur besar yang nyaman tersebut dan segera tertidur lelap dengan suara dengkuran yang khas. “Hmm, aku tidak tahan mendengar dengkurannya yang begitu keras. Aku akan melihat pekerjaannya nanti. Jika dia berhasil, aku tak segan-segan memberinya hadiah yang spesial karena telah membantu bisnis pentingku ini. Tapi, jika ia gagal, aku akan melakukan apa yang telah aku katakan kepadanya.” Williams pun beranjak pergi ke tempat tidur di samping tempat tidur John yang juga sangat nyaman tersebut dan tertidur nyenyak tanpa mendengkur.
Hari ini langit terlihat begitu gelap seakan-akan langit hanya berjarak tiga jengkal dari kepala kita. Sepertinya akan ada badai di sini. Hal itu sudah sering terjadi karena kota tempat tinggal Eddy dan keluarganya sangat dekat dengan laut. Eddy dan Morris sedang beristirahat di kamar Eddy setelah perjalanan menyenangkan mereka. Sementara Ray sudah pulang ke rumahnya. Baru bangun dari tidur mereka dan langsung beranjak ke kamar mandi. Sedangkan Morris memakan daun Eukaliptusnya yang tersisa dan menghabiskan semuanya. “Wah, sayang sekali Morris, hari ini cuaca tidak begitu bagus dan itu tandanya kita tidak bisa berjalan-jalan seperti yang sering kita lakukan selama ini,” keluh Eddy. “Yeah, dan satu hal buruk lagi adalah aku KEHABISAN makananku.” “Kalau begitu, kenapa kau tidak memakan makanan lain saja seperti yang biasanya kami para manusia makan?” “Hmm, aku belum pernah mencobanya. Bagaimana rasanya makanan manusia?” tanya Morris. “Kalau kau ingin tahu, akan aku bawakan sarapanku ke kamar. Kau dapat mencicipinya jika kau mau. Tapi aku rasa kau pasti mau karena daun Eukaliptusmu sudah habis,” jawab Eddy. “Hmm, baiklah aku tunggu.” Eddy bergegas turun ke bawah untuk mengambil dan membawa sarapannya ke kamar. “Hmmm, sarapan hari ini nikmat sekali, bu. aku sangat lapar.” “Kalau begitu cuci tanganmu, duduk dengan tenang, dan habiskan sarapanmu. Tidak usah terburu-buru, seperti yang biasa ibu katakan kepadamu, Eddy,” jawab ibu. “Baik bu, tapi.. bolehkan kalau hari ini.. maksudku untuk hari ini saja aku sarapan di kamar? Aku janji akan membersihkan sisanya bu.” “Hmm, baiklah ibu izinkan. Tapi hanya satu kali ini saja, oke?” Eddy pun mengambil sarapannya dan membawanya ke kamar sambil mengucapkan terima kasih kepada ibu.
“Hmm nyam..nyam, lezat sekali makanan para manusia ini.” “Aku baru tahu kalau Koala makan sandwich,” canda Eddy. “Sudah kubilang aku ini spesial,” jawab Morris. Mereka berdua tertawa bersama sambil menghabiskan sarapan pagi ini. Setelah itu, mereka bercanda sambil menghabiskan waktu.
Angin bertiup semakin kencang dan udara terasa semakin dingin. Eddy merasa sedikit kecewa tidak dapat pergi keluar bersama Morris. Morris merasakan hal yang sama. “Mungkin siang nanti, badai pasti sudah mereda dan kita dapat berpesiar lagi, Eddy,” Morris menenangkan Eddy. “Yeah, mungkin. Tapi biasanya badai di sini dapat berlangsung selama satu hari penuh.” Eddy naik ke atas tempat tidurnya. Morris duduk di tepi jendela menatap badai yang membuat benda-benda di luar bergerak kencang.
Morris benar, badai berhenti siang ini. Eddy bergegas mengambil sepedanya. Menjemput Morris dan berjalan-jalan seperti biasanya setelah meminta izin dengan ibunya. “Morris, kemana kita akan berpesiar kali ini?” tanya Eddy. “Yang pasti, aku tidak ingin pergi ke bukit itu lagi. Orang bertubuh besar itu pasti sudah pernah mencariku sampai ke sana.” “Dari mana kau tahu? Kita belum pernah bertemu lagi dengannya setelah di dalam pesawat dulu.” “Perasaanku selalu benar,” jawab Morris. Eddy mengangguk setuju. Mungkin Morris benar. Dia sudah sering membuktikan tentang hal itu.
Mereka sampai di sebuah pedesaan yang sepi. Hanya ada beberapa rumah penduduk yang terlihat. Lebih ke arah barat terlihat sesuatu yang berkilauan dan berwarna biru jernih. Sangat biru. “Lihat! Laut terlihat sangat biru dari sini. Desa ini mempunyai pantai yang sangat indah. Kita bisa bermain-main di pantai, Morris,” seru Eddy. “Apa itu pantai? Menyenangkankah jika kita bermain-main di sana?” “Tentu saja, di pantai kita dapat membangun istana pasir, piknik, dan mandi-mandi. Tapi tampaknya ombak di sini sangat besar. Itu bukan masalah besar.” “Menyenangkan kita berpesiar ke sini!” Mereka menuju pantai dan bermain-main di sana. Para penduduk tidak akan merasa aneh dengan Morris. Dia sangat mirip sekali dengan boneka koala milik Eddy. Morris merasa lapar dan segera menuju tas Eddy untuk mengambil makanan yang sudah disiapkan Eddy. Sementara Eddy sedang membenamkan dirinya di dalam pasir yang lembut dan hangat terkena sinar matahari.
“Aaa..!” jerit Eddy. Morris menghampiri Eddy dan melihat apa yang terjadi padanya. “Kau kenapa?” Eddy bangun dari pasir dan segera melihat ibu jari kakinya yang sedang dihinggapi oleh seekor kepiting kecil. “Pantas saja! kakimu dihinggapi binatang. Apa itu sakit?” kemudian Morris berpikir bahwa itu pasti sakit karena Eddy menjerit. Eddy menggelengkan kepalanya dan berpikir kenapa Morris begitu sering bertanya tentang hal-hal yang kau sendiri sudah tahu jawabannya. Sesaat kemudian dia menyadari bahwa Morris adalah seekor koala. “Aku sudah menganggapnya teman dekatku,” kata Eddy. “Menganggap siapa?” Morris berpikir kenapa Eddy menjadi seperti ini. Mungkin efek samping dari gigitan hewan kecil berwarna merah tersebut. “Morris, kenapa kau diam saja?” tanya Eddy. “Kau yang aneh. Tadi kau bilang kau sudah menganggapnya teman dekatmu. Lalu aku bertanya padamu menganggap siapa? dan kau sekarang balik bertanya. Apa itu adalah efek samping dari gigitan hewan tadi, Eddy,” tanya Morris. Eddy tertawa mendengar kata-kata Morris. “Haha.. mana mungkin! Kau ini ada-ada saja Morris. Hewan itu disebut kepiting. Dia mencapit tidak menggigit. Capitannya itu hanya menimbulkan rasa sakit saja tetapi tidak menimbulkan efek samping seperti yang kau kira.” “Hmm.. kalau begitu kau kenapa?” tanya Morris. “Oh, aku hanya berpikir bahwa kau sudah kuanggap teman baikku sama seperti Ray.” “Baiklah, aku pun juga begitu. Terima kasih telah menganggapku teman.” Eddy tersenyum.
John terus mencari informasi dan memeriksa tempat-tempat yang mungkin didatangi anak itu. Dia pernah mendapatkan informasi tentang keberadaan koala dan teman kecilnya itu. Ketika sedang melewati beberapa rumah di samping jalan, dia melihat anak kecil yang pernah berjumpa dengannya sedang membawa masuk sepedanya ke dalam salah satu rumah dengan menggendong tas yang sama seperti waktu itu. John memerhatikan anak tersebut masuk ke rumahnya yang bercat putih dan terdapat halaman kecil yang dijadikan taman oleh ibunya. Dia segera menelepon Williams dan memberitahukan kabar menyenangkan ini. Rencananya besok dia beserta kaki-tangannya akan mengambil koala itu secara diam-diam. Mereka sudah memikirkannya matang-matang.
Hari ini Eddy pergi ke sekolah dan Morris tinggal di rumah seperti biasa. John dan kaki-tangannya menuju ke rumah Eddy seperti rencana yang sudah mereka susun tepat pukul sepuluh pagi ini. Kebetulan pukul sepuluh hari ini pun Eddy sudah ada di rumah karena besok akan diadakan progress report dan kelas-kelas sedang disiapkan untuk acara tersebut. Seperti biasa, Eddy dan Morris bermain di kamar. Ibu pergi bertamu ke rumah salah satu temannya. Kakek pergi mengurus urusannya. Ayah bekerja di kantornya. Di rumah hanya ada Eddy dan Morris.
Tiba-tiba Eddy terdiam dan menyuruh Morris untuk diam dan mendengarkan. “Memangnya ada apa, Eddy?” tanya Morris. Eddy tetap menyuruh Morris untuk menunda pertanyaannya. Morris mendengar suara-suara berbisik. Eddy mengintip lewat jendela kamarnya. Di bawah, dilihatnya dua orang tak dikenal memakai baju seragam. Eddy mendengar mereka berkata, “Selamat siang, kami akan membetulkan saluran air rumah anda!” seru salah satu dari mereka. Eddy dan Morris tidak menjawab. “Mungkin tidak ada orang di rumah ini. Kita masuk saja ke dalam,” bisik yang lain. “Kau benar. Mungkin anak itu belum pulang dari sekolahnya dan orangtuanya sedang pergi. Koala itu pasti tidak akan ikut dengannya ke sekolah,” jawab yang berseru tadi. Mereka masuk ke dalam rumah dengan berhati-hati. Eddy teringat bahwa dia lupa mengunci semua pintu sebelum masuk ke kamar. Sekarang orang yang menculik Morris telah menemukannya. Eddy menyadari bahwa orang yang ditemuinya di pesawat tidak ada di ditu. Mungkin kaki-tangannya. Eddy segera memberitahu Morris untuk mencari tempat persembunyian yang aman.
Ketika Eddy dan Morris turun dari lantai atas ( Eddy menggendong Morris di punggungnya ), dua penyusup itu sedang memasuki kamar kakek untuk mencari Morris. Eddy bergegas mencari tempat persembunyian yang aman sampai kakinya menendang sesuatu. Benda itu pecah dan menimbulkan suara berisik. Para penyusup itu bergegas mengejar Eddy dan Morris. Morris merapatkan dirinya ke Eddy. Untuk sementara, Eddy bersembunyi di balik sebuah lemari tua yang berada di ruangan kerja milik ayahnya dan tidak sengaja menginjak sebuah lantai yang dapat ditekan hingga sedikit masuk ke dalam tanah. Sebagian lantai yang mengelilingi lemari tersebut berputar membawa Eddy dan Morris ke sebuah ruangan tersembunyi. Untuk saat ini Eddy merasa bersyukur telah menemukan tempat persembunyian yang tidak pernah diduganya. Eddy sudah sangat sering memasuki ruang kerja ayahnya tersebut. Tapi sekalipun ia tidak pernah menyadari bagian dinding yang terpisah di belakang lemari tersebut. Dinding itu pun terlihat sangat rapat dengan tembok yang asli sehingga Eddy tidak menyadari keberadaannya walaupun sudah berkali-kali melihat-lihat lemari tua tersebut.
Kaki-tangan John memasuki ruang kerja ayah Eddy dan tidak menemukan seorang pun di dalamnya. “Aku tadi melihat mereka masuk ke ruangan ini. kenapa sekarang tidak ada?” “Mungkin kau salah lihat. Di samping ruangan ini juga ada ruangan lain. Bisa saja mereka masuk ke sana bukan ke sini.” Mereka bergegas keluar dan memasuki sebuah ruangan yang gelap. Ruangan itu terkunci. Dan mereka semakin yakin kalau Eddy dan Morris bersembunyi di dalamnya. “Haha.. kau sudah ketahuan anak kecil penculik koala kami! sekarang kau tidak bisa ke mana-mana lagi,” kata salah seorang kaki-tangan. Badannya lebih besar dari yang lain. Salah satu dari mereka yang badannya lebih kecil membawa seperangkat kawat pembuka kunci dan sebuah pisau yang juga dapat digunakan untuk membuka kunci. Dia berhasil membuka kunci pintu tersebut dan membuka pintunya. Sebuah benda yang tinggi dan besar menimpa mereka berdua terjungkang ke belakang dengan membawa rasa sakit di bagian wajah dan belakang kepala mereka. Benda itu adalah sebuah kasur lipat yang digunakan jika ada tamu yang akan menginap dan kekurangan tempat tidur. Ruangan yang mereka kira tempat persembunyian Eddy dan Morris sebenarnya adalah tempat penyimpanan kasur lipat. Pintu ruangan tersebut memang sengaja dikunci agar kasur lipat itu tidak dapat mendorong pintunya sampai terbuka dan menimpa siapa saja yang sedang melewati ruangan tersebut.
Ruangan di balik lemari sangat terang karena Eddy telah menyalakan lampu yang ada di ruangan tersebut. Eddy ingin tahu keadaan di luar. “Morris, kau tunggu di sini saja. aku ingin melihat keadaan di luar. Aku ingin tahu apakah penyusup itu sudah pergi dari sini atau belum. Karena aku rasa mereka pasti sudah mencari kita di mana-mana dan tidak akan menemukan kita. Dan mereka akan berpikir bahwa kita sudah keluar dari rumah lewat pintu belakang di kebun.” “Baiklah kau mungkin benar. Tapi bisa saja sebaliknya. Sebaiknya kau berhati-hati Eddy, jangan sampai tertangkap oleh mereka. Aku yakin mereka adalah kaki-tangan orang bertubuh besar itu.” Eddy mengangguk setuju dan mendorong ke bawah sebuah tuas yang berada tepat di belakang lemari tua di balik sana. Seperti tadi, lantai yang dipijak Eddy berputar membawanya ke ruangan kerja milik ayah. Dia menuju pintu dan melihat keadaan di sekitar lorong rumahnya. Sepi. Dia keluar dari ruangan tersebut. Langkahnya terhenti dan mulai merasakan udara busuk mencengkeram hidungnya. Eddy meronta-ronta ketika kepala dan badannya di masukkan ke sebuah karung dan diangkat ke atas. Lebih tepatnya digendong oleh seseorang. Eddy tahu yang menangkapnya ini adalah salah seorang kaki tangan orang itu. di dengarnya suara orang tertawa-tawa dan memasukkannya ke sebuah ruangan yang pasti gelap karena dia dapat merasakan sesaknya udara di dalam sana. Bukan ruangan karena dia bisa merasakan dirinya bergerak bersama ruangan itu. Mobil box. Dia berada di dalam box mobil tersebut. Sekarang dirinya diculik oleh kaki-tangan orang itu. Eddy berpikir jika ayah, ibu, dan kakeknya menyadari hal tersebut, mereka pasti akan sangat mengkhawatirkannya dan pemikiran orang dewasa yang pertama muncul adalah menghubungi kantor polisi. Hal bagusnya: bukan Morris yang tangkap oleh mereka. “Aku sudah berjanji pada Morris untuk menjaganya dari orang bertubuh besar tersebut beserta para kaki-tangannya,” pikir Eddy.
Di dalam ruangan di balik lemari tua tersebut Morris merasa sesuatu yang buruk menimpa Eddy. Dan dia merasa pasti kaki-tangan tersebut sudah membawa Eddy kepada orang itu. Morris turun dari sebuah tempat tidur kecil yang terdapat di ruangan tersebut. Di dalam sana juga terdapat karpet yang mengalasi lantainya kecuali beberapa bagian lantai yang ikut berputar membawa kita keluar dari ruangan tersebut dan sebuah meja kecil dan dua buah kursi. Dia menuju sebuah tuas yang digunakan Eddy untuk keluar dari ruangan tersebut. Tuas tersebut tidak tinggi dan terletak di daerah yang cukup rendah. Serendah yang dapat dijangkau oleh seekor koala. Mendorong tuas tersebut ke bawah dan berputar kembali ke ruang kerja ayah Eddy. Pintu ruangan tersebut terbuka setelah Eddy keluar dari sini. Morris keluar dari ruangan tersebut. Beberapa saat kemudian, klakson mobil yang sudah diketahui Morris adalah suara klakson mobil kakek terdengar. Morris segera menuju pintu depan rumah yang terbuka sedikit dan segera menemui kakek. Dia tidak menyembunyikan dirinya dari kakek. Sekarang yang lebih penting adalah menyelamatkan Eddy dari kaki-tangan orang bertubuh-besar-tersebut.
Begitu melihat seekor koala keluar dari dalam rumahnya, dia bergegas turun dari mobil dan menghampiri si koala. “Hai, koala manis. Apa yang kau lakukan di dalam rumahku?” tanya kakek sambil mengangkat Morris. “Hai kakek Eddy, terima kasih pujiannya,” Morris tersenyum menunjukkan giginya yang putih bersih dan tersusun rapi di dalam mulut koalanya. Kakek Eddy terperanjat mendengar perkataan Morris. “K..ka-kau bisa berbicara bahasa manusia?” tanya kakek sambil menurunkan Morris dari gendongannya. Morris mengangguk cepat. “Yeah, nanti saja aku jelaskan. Aku ingin memberitahumu sesuatu.” “Tunggu sebentar. Apa kau tahu dimana Eddy? Dari tadi aku belum melihatnya keluar menyongsongku pulang,” memotong kata-kata Morris. “Hmm, aku akan menjelaskannya padamu,” jawab Morris. Kakek Eddy menunggu dengan sabar dan Morris mulai menceritakan seluruh kejadian yang telah dialaminya. Sesekali kakek Eddy bertanya sesuatu yang merupakan bagian dari cerita Morris yang menurut kakek tidak masuk akal. Setelah selesai bercerita dan mendengarkan cerita, kakek segera menghubungi ayah dan ibu Eddy agar segera pulang ke rumah karena kakek dan Morris akan segera pergi ke kantor polisi untuk menangkap penjahat-penjahat itu. Ayah dan ibu bertanya pada kakek siapa itu Morris dan kenapa ada penjahat-penjahat. Kakek menjawab bahwa dia akan menceritakan semuanya pada mereka. Kakek dan Morris pun naik ke mobil dan menuju kantor polisi. Beberapa saat kemudian ayah dan ibu telah sampai di rumah dan masuk ke dalam menunggu kakek, Eddy, dan seorang teman bernama Morris pulang ke rumah.
Mobil box itu berhenti. Eddy tidak tahu ke mana ia akan dibawa pergi. Eddy merasakan dirinya ditarik oleh seseorang dan diangkat oleh orang itu. Eddy mendengar suara bel pintu masuk tanda ada orang yang datang seperti pintu masuk toko-toko mainan di kotanya. Dia berpikir ini adalah salah satu toko di kotanya. Tetapi, untuk apa mereka membawaku ke sebuah toko mainan? Pikir Eddy. Orang yang menggendongnya memasuki lift toko mainan tersebut. Tampaknya sampai ke lantai yang paling atas karena mereka cukup lama berada di dalam lift. Toko ini mempunyai kurang lebih empat tingkat. Kebanyakan toko di sini juga seperti itu. Mereka sampai di lantai yang dituju orang yang diduga adalah kaki-tangan orang bertubuh besar itu.
John menyambut kedatangan kaki-tangannya beserta sebuah anak yang dibungkus di dalam karung. John melepaskan ikatan tangan anak itu dan membuka karung yang menutupi kepala dan badannya. Anak itu lega dapat bernapas dengan leluasa setelah didekap di sebuah karung berbau seperti kaus kaki lama yang belum pernah dicuci itu. Setelah sesaknya hilang, anak itu menatap orang yang mengangkatnya sampai ke sini dan memperhatikan wajahnya. Mempunyai janggut di sekeliling dagunya dan kumis yang lumayan lebat. Setelah itu dia menatap John. “Haloo, teman lama kecilku,” sapa John dengan senyum mengembang di wajahnya dan suara besarnya yang menggelegar. “Kau!” jerit anak itu kepada john. “Hahaha.. aku tidak menyangka kita dapat bertemu lagi. Dulu kita bertemu sebagai kawan. Dan sekarang, kita bertemu sebagai lawan.” Orang itu tertawa lagi. wajah Eddy merah padam melihat laki-laki bertubuh besar itu. John memanggil Williams dan mengatakan bahwa dia telah berhasil menangkapnya. Williams keluar dari lift dan segera melihat koala itu. Tidak ada koala di sini. Dia hanya melihat seorang anak kecil. “Apa ini?” tanyanya menahan marah. “Dia adalah seorang anak yang kutemui di dalam pesawat dan mengambil barang berharga kita.” “John, dengarkan aku.” John mengangguk. “Aku tidak peduli siapa yang mengambil barang berharga kita.” “Aku tidak mengambil Morris!” sela Eddy. “Aku hanya menginginkan koala tersebut. Dan sekarang, kau membawakanku barang yang tidak berguna!” lanjut Williams tidak memedulikan teriakan Eddy. “Setidaknya, koala itu juga akan membantunya untuk membebaskan anak ini dan dia akan datang ke tempat kita, Williams. Kita tinggal menagkapnya saja.” Jawab John. “Ya! Tentu saja. Dengan kemampuannya berbicara, dia pasti akan memberitahu keluarga anak ini. Dan setelah mereka mendengar laporannya, mereka akan segera menghubungi polisi untuk melacak kita semua.” “Yeah, kau benar. Ini salahku, mestinya aku tidak langsung membawa pergi anak ini dan meninggalkan barang kita sendirian di rumahnya.” “Sudah terlambat untuk itu. Sekarang kau harus melakukan apa yang harus kau lakukan.”
Dia berbalik dan menggumam menyatakan kekesalannya. “Williams,” panggil John. “Apa lagi!” memberhentikan langkahnya. “Memangnya.. apa yang harus kulakukan?” tanya John. Lugu. “Terserah! Aku tidak perduli apa yang akan kau lakukan. Jangan pernah berurusan lagi denganku. Mengerti?” John mengangguk pelan. “Pergilah,” lanjut Williams. Menuju sofa panjangnya yang nyaman dan membaringkan tubuhnya di atas sofa tersebut. Menghela napas panjang. “Lalu, bagaimana dengan anak ini?” tanya salah satu kaki-tangan John. “Aku bilang pergi! Terserah mau kau apakan bocah itu. Aku tidak peduli.” Membalikkan badannya. Mengambil beberapa batang rokok. Menyalakannya.
John, beserta kaki-tangannya masuk ke dalam lift. Menggiring Eddy agar dia tidak melepaskan dirinya. Menurutku, mereka memang tidak punya otak. Mereka sudah tidak membutuhkanku lagi. Dan tidak membiarkanku pergi! Payah. Pikir Eddy. “Hei,” panggil Eddy. “Diam nak,” jawab John lesu. “Sebenarnya, kau akan membawaku ke mana?” tanya Eddy. “Maksudku, kalian kan sudah dipecat. Seharusnya, kau biarkan saja aku kembali pulang ke rumah. Keluargaku pasti sudah menghubungi polisi dan sedang mencari kalian semua. Jika kalian membiarkanku pergi, aku tidak akan pernah melaporkan kalian kepada polisi.” “Hmm, mungkin memang anak ini benar, John.” John berpikir beberapa saat. Mengangguk. Mengatakan pada anak itu bahwa Eddy benar dan dia sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi dengan Williams. Eddy mengangguk.
Mereka keluar dari lift dan segera pergi dari toko mainan yang menjual banyak sekali boneka koala yang dapat berbicara seperti boneka Eddy. Yang ini lebih tampak seperti koala sungguhan. Sebelum Eddy berpisah dari mereka, terlintas pertanyaan dalam pikirannya. Untuk apa Morris diculik dari tempat aslinya? Morris adalah hewan sunguhan. Mereka menjual boneka. Tidak masuk di akal. “Hmm, John. Sebenarnya, kau menculik Morris untuk apa? Aku tidak mengerti. Kau beserta bosmu maksudku bekas bosmu menjual boneka koala. Bukan koala sungguhan.” John mengerti apa yang ditanyakan Eddy. Menghela napas dan mulai menjelaskan semua yang dia kerjakan selama ini termasuk menculik Morris dari habitat aslinya. Raut muka Eddy sangat menggambarkan bahwa dia benar-benar terkejut. Mengerti dengan semua yang diceritakan kepadanya. Dia mengucapkan selamat tinggal dan mulai berjalan pulang ke arah rumahnya yang sebenarnya tidak begitu jauh dari toko mainan tersebut.
Kakek dan Morris telah pulang diikuti oleh sebuah mobil polisi untuk membahas dan memperkirakan tempat persembunyian para penjahat tersebut beserta Eddy. Mereka membicarakan hal tersebut di ruang tamu rumah. Sampai mereka mendengar suara ketukan pintu dan suara seorang anak laki-laki memanggil-manggil ayah, ibu, kakeknya, dan Morris. Mereka ( kecuali polisi-polisi yang juga berada di sana ) membukakan pintu dan memeluk Eddy secara bergantian. Terutama Ibu dan Morris. Eddy bertanya kenapa Morris tidak menyembunyikan dirinya dari para orang dewasa. Morris menceritakannya. Eddy mengangguk setuju. Lalu para orang dewasa bertanya padanya bagaimana ia dapat bebas dari penjahat-penjahat tersebut. Eddy bergantian menceritakannya juga. Tetapi dia tidak menceritakan pada mereka semua apa yang ditanyakannya pada John dan juga jawaban John terhadap pertanyaannya. Lalu para orang dewasa termasuk polisi-polisi bergegas pergi ke toko mainan tersebut. Nama toko itu Down Under. Ayah, ibu, Eddy, dan kakek menaiki mobil kakek. Dan mereka mengikuti di belakang mobil polisi. John dan kaki-tangannya telah pergi dari tempat itu. Dan Eddy tahu di sana hanya tinggal seseorang yang bernama Williams. Bekas bos John. Eddy membawa mereka menaiki lift yang berada di toko tersebut.
Williams mendengar suara orang datang. “Bukankah sudah kukatakan pada kalian untuk meninggalkan tempat ini?” bentaknya. “Mengatakan pada siapa?” Williams membalikkan badannya. Terkejut dengan orang-orang yang berkunjung ke toko sekaligus tempat tinggalnya. “Apakah kau yang sudah menculik anak yang bernama Eddy ini?” Williams tidak menjawab. Dalam hati dia memaki-maki John dan kaki-tangannya yang telah membawa barang tak berguna itu ke sini. “Kau juga sudah menculik hewan ini dari tempat asalnya.” “Aku mengetahuinya, Williams. Dia sudah menceritakannya padaku. Ternyata kau sudah sering menangkap koala-koala dari tempat asalnya. Tokomu menjual banyak boneka koala. Itu bukan boneka. Mainan-mainan itu adalah hewan sungguhan yang kau tangkap. Dia juga sudah menceritakan tentang mesin itu. Di ruangan ini terdapat sebuah kamar kecil yang kau gunakan untuk menyimpan mesin tersebut dan menghipnotis hewan-hewan itu untuk dijadikan seperti boneka koala. Kau juga akan melakukan hal itu pada Morris. Lalu Morris mencari cara untuk membebaskan diri dengan cara menukar boneka koalaku dengan dirinya sehingga dia tidak akan dijadikan seperti teman-temannya itu.” “Dia menceritakan itu semua? Aku, aku akan membalasnya dengan sesuatu yang lebih menyakitkan.” “Sudah terlambat Willy. Kau tidak bisa mewujudkan impianmu untuk membalas dia yang kau sebut itu. Kau kami tahan.” Dua orang polisi memakaikan borgol di kedua tangan Williams dan menggiringnya memasuki lift. “Terima kasih Eddy, Morris. Kami sudah lama mendengar kabar bahwa banyak sekali Koala yang telah diculik dari tempat asalnya. Dan kami juga selalu melacak pelakunya. Tetapi hasilnya nihil. Kalian telah membantu tugas kami.” Eddy dan Morris tertawa bersama.
“Ayo kita pulang,” ajak ayah. “Tunggu yah, masalah ini belum selesai. Koala-koala itu masih berada di bawah pengaruh mesin itu. Mereka harus kita sadarkan. Aku tahu di mana ruangan itu berada. John telah memberitahukan semuanya padaku.” “John? Siapa itu John?” “oh, teman lama,” jawab Eddy dengan senyuman khasnya.
Morris, Eddy, dan para orang dewasa yang tersisa segera memasuki lift dan turun ke lantai paling bawah. Di bawah banyak sekali boneka-boneka bukan koala-koala yang berkata dengan suara seperti robot. Mereka melakukannya secara bersamaan. “Banyak sekali koala di sini. Butuh waktu lama untuk mengembalikan semuanya seperti semula.” Kata Eddy. Mereka bekerjasama memasukkan koala-koala itu ke dalam lift sampai lift penuh sesak dan dipenuhi banyak suara. Eddy dan Morris membawa mereka ke lantai paling atas.
Ruangan terdapat di balik dinding yang dapat dibuka dengan cara menekan tombol yang berada di sekitar situ. Dinding itu terbagi menjadi dua dan bergeser ke samping. Eddy dan Morris masuk ke ruangan itu dengan membawa dua ekor koala secara bergantian. Setelah koala-koala itu kembali seperti semula, Eddy menyuruh Morris menjaga mereka dan segera turun untuk membawa koala-koala lainnya. Eddy dan Morris terus bekerja sampai tidak ada tersisa satu koala pun. Para orang dewasa ikut naik ke tingkat paling atas dari Down Under untuk menjemput koala-koala itu.
Hari ini ayah menyewa sebuah truk besar untuk mengangkut koala-koala tersebut ke bandara untuk di pulangkan ke habitat aslinya. Ayah telah mengurus semuanya. Eddy mengantar koala-koala tersebut ke bandara. Dia mengucapkan selamat tinggal pada Morris dan teman-teman koalanya pada saat pesawat mereka tinggal landas. Eddy tersenyum melihat pesawat yang berisi koala tersebut. Morris telah mengatakan pada mereka tentang peraturan di dalam pesawat yang telah disampaikan Eddy kepadanya (lewat pramugari) melalui bahasa Koala. Mereka mengerti dan mematuhinya.
Eddy beserta keluarganya pulang ke rumah. Dia merindukan Morris. Di pesawat, Morris menceritakan pengalamannya bersama Eddy sampai dia dapat berada di dalam pesawat berisi penuh Koala ini. Tentunya dalam bahasa koala. Mereka berdua percaya, suatu saat nanti, mereka berdua akan bertemu kembali dan mengalami pengalaman yang akan lebih seru dari ini. Siapa yang dapat menjamin?
Masalah Terpecahkan
E |
ddy pulang ke rumahnya setelah berpesiar pagi ini ke tempat-tempat yang sering dikunjunginya bersama Morris. Mungkin Morris sedang bermain dan berkumpul bersama saudara dan teman-temannya, pikir Eddy. Dia memasukkan sepedanya ke garasi rumahnya seperti biasa. Eddy sangat menjaga sepeda kesayangannya itu. Seperti yang sudah kuceritakan, itu hadiah dari ayahnya saat ia berulang tahun. Sangat membanggakan sepeda tersebut.
Dia menaiki tangga rumahnya. Menuju kamarnya dan berbaring di atas tempat tidurnya. Ibu seperti biasa sedang membereskan kebun. Setiap malam saat Eddy, kakek, dan ayah tidur, ibu sibuk berkutat dengan cairan-cairan berwarna dan bahan-bahan kimia lainnya serta mempelajari buku-buku ilmu pengetahuan di laboratoriumnya, meneliti hasilnya untuk dijadikan sebuah formula.
Eddy merasa bosan. Jadi dia turun dari tempat tidurnya, menuju ke halaman belakang rumahnya. Ke kebun. Ibu ada di sana. Mencabut tanaman liar dari semak-semak. Di antara tanaman-tanaman di kebun ada beberapa yang berduri. Eddy melihat ibunya menarik sekuat tenaga mencabuti tanaman-tanaman liar tersebut. Salah satunya berada di depan tanaman berduri tersebut dan sangat sulit dicabut. Eddy mendatangi ibu dan membantu. Bekerja sama.
Tanaman liar itu tercabut dari tanah. Ibu mengucapkan terima kasih kepada Eddy. Eddy menawarkan dirinya untuk membantu ibu membereskan kebun. Ibu menganggukkan kepalanya tanda membolehkan dan bersedia untuk dibantu. Mereka membereskan kebun bersama-sama. Tertawa dan bercanda. Sampai pekerjaan itu selesai. Membersihkan diri dan beristirahat bersama-sama di ruang keluarga. Ibu tertidur. Eddy bermain bersama mainan-mainannya membayangkan dirinya bertemu dengan Morris lagi. Saat sore hari, ibu sudah bangun dan pergi ke dapur untuk memasak makan malam. Eddy menunggu ayah pulang sampai terdengar bunyi klakson mobil di depan rumahnya. Eddy pergi menyambut ayah. “Bagaimana kabarmu hari ini Eddy. Baik-baik saja?” Eddy mengangguk dan menceritakan apa yang dikerjakannya sejak pagi tadi. “Anak baik, aku bangga padamu,” jawab ayah setelah mendengar ceritanya. “ Eddy tersenyum. Ibu telah menyiapkan makan malam. Kakek belum pulang. Masih ada jatah makan malam untuk kakek. Beberapa saat kemudian kakek pulang dan langsung menyantap makan malamnya. Dia berkata bahwa dirinya sangat ingin beristirahat. Jadi dia pergi ke kamarnya untuk beristirahat setelah menghabiskan makanannya.
Ibu pun berkata bahwa masih banyak yang harus dilakukannya. Dan dia pergi tidur lebih awal dari ayah dan Eddy seperti biasanya. Agar dapat bangun di tengah malam dan berkonsentrasi pada penelitiannya. Eddy menonton film kesukaannya. Sebenarnya ayah juga menyukai film tersebut. Ayah membuat popcorn untuknya dan Eddy sebagai camilan saat mereka menonton film tersebut. Hari ini adalah hari terbaik. Tetapi lebih baik lagi jika Morris ada di sini, pikir Eddy. Setelah menonton film tersebut, Eddy dan ayah mematikan TV dan tertidur sangat lelap. Popcorn yang dibuat ayah telah habis oleh mereka berdua. Saking lelapnya tertidur, mereka tidak merasakan gerakan ketika ibu bangun dari tidurnya menuju laboratoriumnya.
Di dalam laboratorium tersebut terdapat barang-barang yang tidak akan kau temui di tempat-tempat biasa. Rak-rak yang berisi cairan berwarna-warni yang disusun rapi dari yang paling terang sampai yang paling gelap. Di sebelahnya terdapat rak buku besar. Ada beberapa buku yang terlihat sudah tua dan lapuk. Masuk lebih dalam ke laboratorium, akan terlihat sofa panjang, sebuah piringan besar berwarna hitam untuk memutar lagu-lagu, dan sebuah penggorengan untuk memasak sesuatu kalau kau merasa lapar saat sedang bekerja. Di samping penggorengan tersebut terdapat kulkas yang berisi makanan dan minuman ringan untuk menganjal perutmu saat tidak ada makanan untuk dimasak. Ibu sedang menulis sesuatu di atas meja penelitiannya. Mungkin sebuah formula. Ketika Eddy masih kecil, dia seperti tinggal di laboratorium. Karena ibunya sangat sibuk di sana dan tidak ada yang menjaganya di dalam rumah sampai ayah pulang. Ketika ibu sedang mencampur berbagai bahan kimia untuk percobaannya, Eddy bermain-main dengan baby walkernya. Terkadang ia bersembunyi di bawah meja penelitian ibu dan ibu mencari-cari Eddy kemana-mana sampai ia menghentikan pekerjaannya cukup lama.
Sekitar jam 3.00 pagi, ibu menyelesaikan pekerjaannya dan kembali masuk ke dalam rumah. Kakek, Eddy, dan ayah masih tertidur di tempat dan posisi yang sama; kakek tidur di kamarnya, ayah dan Eddy masih tertidur lelap di ruang keluarga sehabis menonton film tadi malam di atas sofa panjang ruangan tersebut. Ibu membersihkan sisa-sisa dan remah-remah popcorn. Setelah itu, ia mengecup ayah dan Eddy kemudian masuk ke kamar ibu dan ayah karena tidak ada tempat lagi di sofa panjang tersebut untuk beristirahat kembali kurang lebih selama dua jam. Menurut ibu itu sudah cukup.
Eddy terbangun. Bergegas ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Pada saat ia sarapan, Ray memanggilnya untuk pergi ke sekolah bersama-sama. “Bu, yah, aku akan pergi ke sekolah.” “Belajarlah yang benar Edd,” jawab ayah. Ibu mengangguk dan menyetujui perkataan ayah. Eddy mengambil sepedanya dan pergi ke sekolah bersama Ray. Sepanjang perjalanan, mereka membicarakan Morris. Berharap dapat bertemu kembali.
Di sebuah padang rumput yang tumbuh tinggi dan berwarna hijau kekuningan, terlihat banyak koala-koala di atas beberapa pohon Eukaliptus. Koala-koala tersebut baru saja di pulangkan dari tempat yang lumayan jauh. Mereka menaiki pesawat khusus binatang yang akan dipindahkan atau dipulangkan dari tempat asal mereka. Koala-koala itu baru saja mengalami kejadian yang sangat tidak menyenangkan. Mereka diculik dari tempat asal mereka untuk dijadikan mainan yang dapat berbicara. Mereka dapat diajak berbicara tanpa harus menarik tali yang biasanya berada di bagian belakang tubuh koala boneka. Mereka dijual di sebuah toko mainan bernama Down Under. Koala-koala tersebut dihipnotis menggunakan mesin khusus agar dapat menjadi seperti itu. Dan dijual dengan harga yang cukup mahal melebihi harga boneka koala biasa yang dapat berbicara. Para manusia yang menjual dan menculik mereka mendapatkan banyak keuntungan dari bisnis mereka. Di kota tersebut memang banyak anak-anak yang dapat membeli mainan apapun karena orangtua mereka adalah orang yang berkecukupan bahkan berlebih penghasilannya. Mungkin seperti keluarga Eddy. Hanya saja mereka, keluarga Eddy, tidak mau menghamburkan uang untuk sesuatu yang tidak penting.
Koala-koala yang baru pulang tersebut, bertemu kembali dengan keluarga dan teman-teman mereka. Termasuk seekor koala yang sedang menceritakan pengalamannya ke seluruh teman-teman dan keluarganya. Koala itu telah akrab dipanggil dengan nama Morris oleh seorang anak yang menjaganya dari para penjahat tersebut. Ibu koala tersebut sebenarnya memberinya nama Oliver. Tetapi, koala itu membiarkan dirinya dipanggil dengan nama Morris oleh Eddy beserta keluarganya. Koala-koala yang mendengarkan cerita Morris atau Oliver kadang berseru ketika Morris menceritakan bagian-bagian yang cukup menegangkan. Mereka bercanda dan tertawa bersama-sama setelah berkumpul. Morris dapat merasakan daun Eukaliptus kesukaannya dan tidak akan pernah kehabisan lagi.
Malam ini bintang-bintang begemerlapan. Morris tidak bisa tidur sementara koala-koala yang lain sudah tertidur lelap. Di luar kebiasaan seekor koala yang sangat mudah untuk tidur. Yeah, ini tidak aneh. Aku koala yang spesial menurut para manusia, pikirnya. Dia merasakan kerinduan yang mendalam pada Eddy. Mereka sudah mengalami kesulitan bersama-sama dan kesenangan bersama-sama pula.
Pagi ini Morris turun dari pohon tempat tinggalnya. Di kejauhan dia melihat beberapa manusia memakai baju yang menandakan mereka adalah petualang sekaligus penyelamat hewan langka. Morris sudah terbiasa melihat manusia-manusia yang berada di sekeliling mereka. Dia sudah cukup lama tinggal di rumah Eddy. Di tengah-tengah para manusia. Koala-koala yang lain bersikap seperti biasa. Tidak ada yang merasa khawatir dengan kedatangan manusia-manusia itu. Mereka mengetahui bahwa manusia-manusia itu bukanlah manusia jahat yang telah menangkap dan menculik mereka. Menjadikan mereka boneka koala demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pada toko mainan boneka koala yang tidak memakai koala sungguhan sebagai bahan utamanya melainkan bahan biasa yang dipakai untuk membuat boneka-boneka apapun. Kapas dan kain adalah salah satunya.
Para manusia itu mendekati pohon tempat tinggal Morris. Mungkin mulai dari sekarang aku harus terbiasa memanggilnya Oliver. Ini adalah rumahnya dan dia sudah kembali pulang ke rumahnya. “Hai! Para manusia,” sapa Oliver. Manusia-manusia itu tersentak kaget. Sama seperti kebanyakan jenis mereka umumnya jika Morris maksudku Oliver berbicara kepadanya. “Kau dapat berbicara seperti kami koala manis?” tanya salah satu manusia. Dia adalah satu dari dua wanita yang memakai seragam tersebut. Selebihnya merupakan pria.
Oliver merasa bosan dengan pertanyaan yang kerap kali ditanyakan para manusia kepadanya. Dan dia tidak menjawabnya. Hanya menarik napas panjang. Kemudian dia memikirkan sesuatu. “Eh, dari mana asal kalian?” tanya Oliver. Salah satu dari mereka yang merupakan pria dan tampaknya pemimpin dari pada perkumpulan manusia-manusia itu menjawab pertanyaannya. “Hmm, berarti kalian berasal dari tempat yang sama dengan teman manusia kecilku.” “Memangnya kau mempunyai teman manusia?” tanya yang lainnya merasa aneh dan bingung dengan Koala yang dapat berbicara ini. “Yeah, kau tidak percaya?” mereka menggelengkan kepala mereka. “Baiklah, itu tidak penting. Aku ingin meminta bantuan pada kalian jika kalian betul-betul para petualang dan penyelamat hewan langka,” kata Oliver. “Bisakah salah satu dari kalian menuliskan surat untuk temanku jika kalian pulang nanti?” tanyanya. Mereka mengangguk. “Tentu saja koala manis. Kami akan membantumu kalau kau benar-benar merindukannya. Aku berpikir teman manusia kecilmu itu adalah manusia yang sangat baik dan telah membantumu ketika kau mempunyai masalah.” “Yup! Tentu saja. Dari mana kau tahu?” Morris menengadahkan kepalanya. “Oh ya, tentu saja kau tahu! Karena aku begitu merindukannya.” Orang itu tertawa mendengarnya. Sedangkan teman-temannya sedang menyapa dan memeriksa koala-koala yang lainnya. Yang tidak dapat berbicara bahasa manusia seperti dirinya tentu saja. Hanya dia yang dapat berbicara seperti itu. “Kalau begitu terima kasih,” lanjutnya. Orang itu mengeluarkan selembar kertas dan sebuah pulpen. Untuk menulis surat Oliver. Dia mendengarkan dan menulis perkataan yang didiktekan Oliver kepadanya.
Orang itu selesai menuliskan surat Oliver. Dan berkata bahwa dia akan menyampaikannya pada Eddy dan menanyakan alamat anak kecil tersebut. Oliver mengetahui alamat Eddy. Dia pernah memberitahu Oliver tentang letak rumahnya dan nama kota tempat tinggal Eddy. Jadi, dia memberitahukannya kepada orang itu. Manusia tersebut mencatat alamat Eddy dan berjanji untuk menyampaikannya. Oliver tersenyum lebar. Karena dengan cara tersebut dia dapat berkomunikasi lagi dengan Eddy.
Lalu para manusia tersebut pergi ke pohon Eukaliptus yang lain dan melakukan pekerjaan seperti yang dilakukan mereka saat berkunjung ke pohon keluarga Oliver. Salah satu koala menghampiri Oliver dan bertanya apa yang dilakukannya dengan manusia tersebut. Oliver menjelaskan kepada koala tersebut bahwa dia merindukan teman manusia kecilnya dan meminta manusia tersebut untuk menuliskan surat kepadanya. Dalam bahasa Koala. Koala yang bernama Ello. Ello adalah seekor koala yang masih kecil. Lebih kecil dari Morris. Oliver. Karena Oliver adalah seekor koala yang sudah hampir besar yang artinya dia masih dapat dibilang kecil. Koala yang pintar. Dan dapat berbicara tentunya. Ello mengerti dan beranjak meninggalkan Oliver dan memanjat pohon Eukaliptus. Aku akan memberitahumu bahwa Ello adalah adik, dalam bahasa manusia disebut dengan sepupu. Jadi, Ello adalah adik sepupu Oliver. Dia baru mengetahuinya setelah mendengar penjelasan ibunya tentang pendatang-pendatang baru dikeluarganya selama ia dan koala-koala yang diculik berada di kota tempat tinggal teman manusia kecilnya. Ello merupakan salah satunya.
Oliver beranjak pergi dari tempatnya sekarang. Bukan ke pohon. Tetapi dia melangkah maju dan mengarah ke sebuah batu besar di tempat tinggalnya tersebut dan memanjat batu itu. di bawah batu tersebut terlihat hamparan luas padang rumput yang berwarna hijau kekuningan melambai-lambai ditiup angin yang berhembus di atasnya dan menyentuh ujung padang rumput tersebut. Dia memusatkan pikirannya pada kebahagian bertemu dengan teman-teman dan keluarganya lagi. Berusaha untuk tidak memikirkan Eddy terus menerus. Percaya pada manusia-manusia tersebut untuk menyampaikan suratnya. Merasakan hembusan angin yang menerpa bulu-bulunya, Oliver merasakan pula seseorang di belakangnya. Beberapa orang. Dia melihat ke belakang. Ello dan dua koala saudaranya sedang berusaha untuk memanjat batu yang diduduki Oliver. Morris, Oliver membantu mereka menaiki batu besar tersebut. “Apa yang kalian lakukan di sini. Kalian masih terlalu kecil untuk meninggalkan rumah.” Koala-koala tersebut menatap Oliver. “Kau sendiri juga masih kecil,” jawab Ello. “Yeah, setidaknya aku lebih besar dari pada kalian. Dan aku sudah bisa menjaga diriku sendiri. Kalian mendengarkan cerita tentang pengalamanku melawan penjahat-penjahat itu kan?” “Hmm, baiklah. Lalu, apa yang sedang kau lakukan di sini? Sekarang masih pagi. Kau tidak makan dulu?” tanya koala yang satu lagi. Namanya Dee. “Aku belum lapar. Aku masih ingin melihat pemandangan tempat tinggalku ini. Kalian tahu aku sudah cukup lama meninggalkannya. Sebelum kalian bertiga ada.” Koala-koala itu mengangguk tanda mengerti. “Baiklah kalau begitu. Ello, Dee, Argent, kalian kembalilah ke pohon. Jangan sampai bibi mencari-cari kalian karena kalian pergi dari pohon.” Mereka bertiga meninggalkan Oliver dan bergegas kembali ke pohon. Rumah mereka.
Setelah Ello, Dee, dan Argent kembali pulang ke rumah, Oliver menghela napas dan turun dari batu besar tersebut. Ketika berada di depan pohon dengan jarak yang tidak terlalu dekat, dia memandang pohon Eukaliptusnya. Rumahnya. Berjalan lebih dekat ke arah pohon dan mulai memanjat pohon tersebut. Argent bertanya padanya kenapa dia begitu cepat pulang ke rumah padahal Oliver mengatakan pada mereka bahwa dia belum lapar dan ingin melihat-lihat tempat tinggal mereka. Oliver mengatakan bahwa dia sudah mulai lapar dan sudah cukup mengetahui tempat tinggalnya lagi karena tidak banyak perbedaan di sini. Ello dan Dee yang juga berada di sana mendengarkan saja sementara Argent mengangguk mengerti. Mereka bermain-main lagi dengan koala-koala yang lain. Mendengarkan cerita-cerita atau sebuah dongeng. Kakek George pandai bercerita. Dia mempunyai pengalaman yang sangat menyenangkan, menegangkan, dan menyeramkan di masa mudanya. Kakek George adalah koala tertua di sini. Oliver teringat bahwa saat dia berumur kurang lebih masih sama dengan Ello, Dee, dan Argent dia sering mendengarkan cerita-cerita tentang pengalaman hidup kakek George. Dan sekarang, dia sudah mempunyai pengalaman hidupnya sendiri. Pengalaman-pengalaman kakek George terjadi pada saat dia berumur lebih tua sedikit saja dari Oliver. Kakek George juga ikut mendengarkan cerita pengalamannya. Dan malam sebelum koala-koala yang lain tidur, dia berkata pada Oliver. “Kau mempunyai pengalaman yang luar biasa nak, aku yakin kau akan mengalami pengalaman lain yang jauh lebih menegangkan dari pengalamanmu sekarang. Tenang saja dan percayalah padaku Oliver, kau dapat melewatinya.” Kakek George menepuk pundaknya pelan dan bergegas tidur. Oliver terdiam di tempatnya. Kembali ke tempat dimana dia akan tidur dan mulai memikirkan Eddy sampai dia tidak dapat tidur.
Siang ini, Oliver bermain bersama dengan adik-adik sepupunya. Kali ini mereka berjumlah lima orang termasuk Ello, Dee, dan Argent. Mereka beristirahat sambil memakan daun pohon Eukaliptus. Bercanda dan tertawa bersama. Sejenak Morris dapat menghilangkan pemikirannya tentang Eddy. Tetapi setelah acara menyenangkan itu selesai, Morris (sepertinya aku lebih suka memanggilnya Morris) kembali memikirkan Eddy.
Ray ada di rumah Eddy. Ibu membawakan kue asli buatannya ke kamar Eddy khusus untuk Eddy dan Ray. Mereka berdua tertawa dan bercanda sebagaimana yang mestinya dilakukan oleh anak-anak seumuran mereka. Saat mereka sedang membicarakan tentang kerinduan mereka kepada Morris koala yang dapat berbicara itu, bel rumah Eddy berbunyi. Ibu yang membukakan pintu. Eddy dan Ray melihat dari jendela kamar Eddy. Mereka melihat seseorang memakai seragam yang diketahui Eddy adalah seragam para petualang dan penyelamat hewan langka. Orang itu memberikan sebuah amplop berwarna putih. Amplop surat. Orang tersebut mengatakan sesuatu pada ibu kemudian pergi dan masuk ke dalam mobil jeep tuanya. Eddy melihat di dalam mobil tersebut ada beberapa orang lainnya juga memakai baju yang sama seperti orang tadi. Eddy dan Ray berpandangan. Sepertinya amplop surat itu bukan ditujukan untuk ibu, ayah, ataupun kakek. Karena setelah itu terdengar langkah kaki seseorang menaiki tangga rumah Eddy. Pintu kamar Eddy terbuka dan ibu memanggil nama Eddy.
“Eddy, kau lihat orang berseragam petualang dan penyelamat hewan langka tadi?” tanya ibu. Eddy mengangguk. “Dia membawa sesuatu untukmu. Sesuatu yang spesial dan kau akan senang menerimanya,” lanjut ibu. “Apa itu bu?” tanya Eddy. Ibu memberikan amplop surat yang diberikan orang tersebut kepada Eddy. Dia membuka amplop tersebut sementara ibu menutup pintu kamar Eddy dan turun ke bawah. Eddy mengeluarkan selembar kertas yang dilipat-lipat dari amplop itu. Di kertas tersebut terdapat tulisan-tulisan. Eddy membacanya dengan keras agar Ray dapat mengetahui isi surat tersebut.
Kepada teman terbaikku,
Eddy
Aku meminta pertolongan kepada beberapa manusia baik untuk menuliskan suratku untukmu. Aku berkumpul kembali dengan keluarga dan teman-temanku. Kabarku baik.
Semoga kau sama denganku. Tolong sampaikan salamku untuk ayah, ibu, kakekmu, juga Ray dan bilang kalau aku merindukan mereka dan aku baik-baik saja.
Aku sangat ingin bertemu dan bermain bersama denganmu lagi, Eddy.
Dari,
Temanmu yang biasa kau panggil Morris
( sebenarnya aku mempunyai nama; Oliver )
Eddy tersenyum setelah selesai membaca surat tersebut. “Morris atau.. siapa nama aslinya tadi? Oh ya, Oliver memang pintar.” Eddy setuju dengan perkataan Ray. “Hmm, kira-kira apa yang dimaksudnya dengan beberapa manusia baik?” pikir Eddy. “Eh, mungkin.. orang tadi beserta teman-temannya. Mereka pasti baru saja pulang dari tempat Morris berada. Mungkin Morris menanyakan dari mana asal mereka.” Jawab Ray. “Yeah! Dan asal mereka dari kota tempat tinggal kita! Lalu dengan kemampuannya berbicara manusia, dia meminta salah satu dari mereka untuk menolongnya menuliskan dan mengirimkan surat ini untuk kita karena dia tidak bisa menulis.” Eddy gembira dengan surat yang diterimanya tersebut. Ternyata ini sesuatu yang spesial yang diberikan orang itu. Eddy membalikkan kertas tersebut dan melihat alamat dimana Morris tinggal. Kemudian dia dan Ray membalas surat tersebut untuk Morris dan meminta izin pada ibu untuk pergi ke kantor pos dekat rumahnya untuk mengirimkan surat balasannya tersebut. Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Eddy begitu bersemangat mengirim surat untuk Morris dan membolehkan Eddy pergi bersama Ray.
Setelah surat tersebut diberikannya kepada petugas pos, Eddy dan Ray mengucapkan terima kasih. Mereka berjalan pulang dengan perasaan senang telah mendapat kabar tentang Morris.
Morris,
Aku sudah menerima suratmu.
Aku, Ray, ayah, ibu, dan kakek baik-baik saja. Seperti yang aku inginkan, aku tahu kau akan senang di sana Morris. Di sini kami sangat merindukanmu. Aku harap kau juga begitu.
Liburan nanti, aku akan meminta ayah dan ibu untuk berkunjung ke tempat tinggalmu dan melihat koala-koala yang lain. Keluarga dan teman-temanmu. Bersama Ray tentunya.
Aku dan Ray bangga mempunyai teman sepertimu Morris. Kau pintar! Kau meminta pertolongan para manusia-manusia itu mengirimkan surat untuk kami.
Aku harap kita dapat bertemu secepat mungkin dan orangtuaku menyetujui permintaan kami. kami rasa mereka juga menyayangimu Morris.
-Eddy & Ray
Eddy dan Ray telah sampai dan masuk ke dalam rumah. Mereka menuju halaman belakang, kebun. Di sana terdapat laboratorium milik ibu dan beberapa kucing yang sering bermain-main di rumah Eddy. Mereka bukan hewan peliharaan Eddy. Di kebun terdapat pintu untuk keluar dari belakang menuju jalan raya yang lumayan besar. Kucing-kucing itu masuk ke kebun melewati pintu tersebut. Pintu tersebut merupakan pagar berwarna putih. Di pagar terdapat cela-cela yang cukup besar untuk dimasuki kucing-kucing tersebut. Keluarga Eddy membiarkan mereka bermain di halaman belakang rumah. Mereka semua penyayang binatang.
Ray sudah sibuk bermain dengan salah satu anak kucing tersebut. Aku lupa memberitahumu kalau kucing-kucing itu masih kecil. Mungkin sama kecilnya dengan adik sepupu Morris, Oliver. Ello, Dee, Argent. Anak-anak kucing tersebut menyukai Eddy dan Ray. Mereka terlelap di samping Eddy dan Ray yang sedang berbaring di atas rumput untuk beristirahat sehabis bermain bersama mereka. Eddy menatap langit yang cerah. Salah satu awan di atas sana berbentuk seperti seekor koala yang sedang tersenyum memandangnya. Sedangkan Ray, dia sudah terlelap dengan seekor anak kucing berbaring di atas perutnya. Yang lainnya berada di samping Ray dan Eddy. Eddy menantikan saat dimana dirinya dan Morris bertemu dan mengalami hal-hal yang tidak akan terlupakan. Selamanya. Dan dia menutup matanya terlelap sama seperti Ray yang sudah lebih dulu.
Mereka berdua terbangun dengan suara berisik di dapur. Mereka bergegas menghampiri ibu dan menanyakan apa yang terjadi. Anak-anak kucing tersebut tidak terbangun mendengar suara berisik di dapur. Anak kucing yang berada di atas perut Ray sudah lebih dulu dipindahkan ke dekat anak kucing lainnya yang berbaring dan terlelap di atas rerumputan di halaman belakang. Sampai Eddy dan Ray mendengar beberapa dari mereka mendengkur pelan. Eddy dan Ray membantu ibu bangkit berdiri. Ibu meletakkan kakinya di atas meja dapur. Menggulung celananya dan melihat luka merah memar sampai menampakkan tulang keringnya. “Iuhh,” Ray dan Eddy bergidik melihat luka tersebut. “Eddy, tolong ambilkan cairan pembangkit segalanya di dalam laboratorium. Rak kedua dari atas. Ray, bisakah aku meminta pertolonganmu untuk mengambilkan perban?” “Tentu saja Mrs. McEachern,” jawab Ray dan pergi mengambilnya di sebuah kotak obat-obatan. Eddy sudah terlebih dulu pergi ke kebun dan masuk ke dalam laboraturium ibunya. Dia mendatangi rak yang dipakai untuk menaruh hasil percobaan ibunya dan mengambil cairan pembangkit segalanya. Cairan itu bening dan tidak kental. Seperti air putih biasa. Cairan itu beraroma seperti akar-akaran brendi yang menenangkan pikiran.
Ibu mengoleskan cairan pembangkit segalanya di atas lukanya perlahan-lahan. Cairan itu mulai bekerja. Darah berhenti keluar dan sedikit daging mulai tumbuh untuk menutup luka tersebut. Ray terkejut melihat kehebatan cairan itu. Dia berpikir bahwa ibu Eddy adalah orang yang sangat pintar dan paling kuat. Eddy berpikir tentang hal yang sama dengan Ray. Ibu membalut lukanya dengan perban dan merekatkannya menggunakan plaster.
Hari sudah semakin sore. Ray berkata pada Eddy dan ibu bahwa dia harus segera pulang ke rumahnya. Kemudian dia mengambil sepedanya, menaikinya, dan pulang ke rumah. Tidak lama lagi ayah pulang dari kantornya. Sebuah Universitas. Ibu menyiapkan makan malam untuk mereka semua. Hari ini kakek pulang lebih awal dari ayah. Eddy duduk di sofa panjang di ruang keluarga. Membaca buku cerita favoritnya. Dia melihat jam yang digantungkan di dinding tepat berada di atas TV. Jam 17.30. Ayah akan pulang sebentar lagi. “10, 9, 8, 7, 6, 5, 4, 3, 2, 1.. nol,” bisiknya pelan. Terdengar suara klakson mobil dari luar teras rumahnya. Eddy menghentikan bacaannya dan bergegas ke ruang depan untuk menyambut ayahnya. “Hai Eddy!” sapa ayahnya. “Hai yah, ibu terluka parah,” jawab Eddy. “Tidak, hanya luka kecil. Jangan terlalu membesar-besarkan, Eddy,” sahut ibunya dari dapur. Ayah tersenyum mendengarnya. Ibu memang wanita terkuat di dunia, pikir Eddy. Lalu mereka semua melakukan apa yang biasanya mereka lakukan setiap hari.
Dari kejauhan tampak seorang laki-laki yang sepertinya seorang Postman karena dia memakai seragam yang menggambarkan bahwa dia berprofesi sebagai pengantar surat. Dia seperti sedang kebingungan mencari alamat di surat. Pengantar surat tersebut diantar oleh beberapa manusia yang memakai seragam seperti manusia-manusia yang datang ke rumah Morris dan menuliskan suratnya untuk mengunjungi rumah koala-koala tersebut. Ello melihat mereka dan mengamatinya. “Hmm, manusia-manusia itu mengajak orang lain datang ke rumah,” katanya. Kemudian dia memanggil saudara-saudaranya yang lain. Dee dan Argent. “Ada apa?” tanya Argent. Ello menunjuk para manusia tersebut. Dee dan Argent melihat arah jari Ello. “Mereka membawa orang lain,” kata Dee dan Argent kemudian. “Orang itu mau apa?” tanya Dee. Ello menggelengkan kepalanya. “Tidak tahu,” jawabnya.
Morris melihat para adik sepupunya sedang mengamati sesuatu. Mereka bertiga terdiam sambil terus mengamati para manusia yang berjalan semakin dekat ke arah rumah mereka. Morris mendatangi mereka. “Apa yang kalian lihat?” tanyanya. Adik-adik sepupunya menoleh ke belakang. “Oh, kau Oliver. Manusia-manusia tersebut membawa orang lain. Menurutmu apa yang akan mereka lakukan?” tanya Ello. Morris melihat para manusia-manusia yang pernah dimintainya pertolongan tersebut. Mereka memang membawa orang lain dan dia tahu siapa orang lain tersebut. “Masakan kalian tidak tahu?” Ketiganya menggeleng. “Dia adalah seorang pengantar surat. Itu tandanya, Eddy sudah menerima suratku. Dan aku yakin orang itu datang ke sini untuk menyampaikan surat balasan Eddy untukku.” “Surat apa?” tanya Dee dan Argent. Morris memandang mereka berdua. Ello memandang Morris sekilas lalu menjelaskan tentang surat tersebut. Dee dan Argent berseru mengerti. “Kau pintar Oliver,” kata mereka berdua selanjutnya. Morris dan Ello mendesah.
Mereka telah berada di depan pohon tempat tinggal Morris dan keluarganya. Morris turun dari pohonnya untuk mendatangi mereka. Di belakangnya, Ello, Dee, dan Argent mengikuti. “Hai koala manis!” sapa orang yang menuliskan surat Morris. Namanya Arthur. “Hai manusia baik,” jawab Morris tenang. Pengantar surat tersebut terkejut mendengarnya.
“K-kenapa..,” gumamnya. “Heh, seperti biasa. Baiklah, jadi apakah kau sudah menyampaikan suratku?” “Yeah, dan orang ini akan mengantarkan surat balasan teman manusia kecilmu itu. Emm, siapa namamu?” tanya Arthur. “Morris. Maksudku, Oliver.” Orang tersebut tampak bingung. “Jadi, siapa namamu?” tanyanya sekali lagi. “Emm, namaku yang sungguhan adalah Oliver. Tapi temanku itu mempunyai boneka koala yang hilang bernama Morris, jadi dia memanggilku dengan nama Morris.” “Oh,” gumamnya mengerti.
“K-kenapa..,” gumamnya. “Heh, seperti biasa. Baiklah, jadi apakah kau sudah menyampaikan suratku?” “Yeah, dan orang ini akan mengantarkan surat balasan teman manusia kecilmu itu. Emm, siapa namamu?” tanya Arthur. “Morris. Maksudku, Oliver.” Orang tersebut tampak bingung. “Jadi, siapa namamu?” tanyanya sekali lagi. “Emm, namaku yang sungguhan adalah Oliver. Tapi temanku itu mempunyai boneka koala yang hilang bernama Morris, jadi dia memanggilku dengan nama Morris.” “Oh,” gumamnya mengerti.
Pengantar surat itu masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sampai Morris maksudku Oliver bertanya padanya. “Jadi, kau membawa surat Eddy?” Morris menatap si pengantar surat. “Oh yeah, aku–aku membawanya,” jawab pengantar surat tersebut. Dia memberikan suratnya pada Morris. “Terima kasih.” Pengantar surat tersebut mengangguk. “Baiklah Victor, kalau kau sudah selesai mengantarkan suratnya aku dapat mengantarmu pulang,” kata Arthur. Kali ini manusia-manusia itu hanya berjumlah dua orang. Arthur dan temannya yang bernama Watson. “Yeah, aku sudah selesai. Terima kasih telah menunjukkan alamatnya.” Arthur dan Watson mengangguk lalu mengucapkan selamat tinggal pada Morris dan koala-koala yang lainnya. Mereka sejak tadi memperhatikan ketiga manusia tersebut. Ingin tahu apa yang terjadi.
Morris berjalan ke arah batu besar tersebut. Memanjatnya dan duduk di atasnya. Ello, Dee, dan Argent mengikutinya. Kali ini mereka sudah bisa memanjat batu besar itu sendiri. Morris membuka amplop surat dari Eddy dan adik-adik sepupunya duduk di sampingnya. Oh ya, Morris dapat membaca surat tersebut sedikit demi sedikit. Eddy pernah mengajarinya sewaktu dia tinggal di rumah Eddy. Ello, Dee, dan Argent bertanya padanya apa isi surat tersebut. “Eddy berkata bahwa saat liburan nanti dia akan berkunjung ke sini.” Mereka bertiga mengangguk mengerti. Morris tidak membalas surat Eddy. Yang penting aku sudah mengetahui kabarnya dan dia mengetahui kabarku, pikirnya. Ello, Dee, dan Argent telah bermain-main bertiga. Kemudian dua teman mereka datang untuk bergabung. Mereka berdua kembar. Jantan dan betina yang masih kecil. Nama mereka Wilfrid dan Lesley. Morris menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku bayi-bayi tersebut. Tapi Morris tetap menyayangi mereka sebagai adik sepupunya.
Morris menjalani hari-harinya seperti biasa di rumahnya. Bermain, bercanda, mendengarkan cerita kakek George bersama koala-koala lain. Eddy pun demikian. Melakukan tugasnya membantu ibu membereskan rumah, sekolah, dan bermain bersama teman-temannya. Sampai liburan yang ditunggu-tunggu tiba.
Eddy terbangun dari tidur nyenyaknya dan terduduk di atas tempat tidurnya. Merngerjap-ngerjapkan matanya. Hari ini adalah hari pertama liburan panjang dimulai. Kurang lebih selama sebulan penuh. Turun dari tempat tidur dan bergegas masuk ke kamar mandi. Memakai baju sehari-harinya untuk di rumah. Lalu turun ke bawah untuk sarapan bersama ayah, ibu, dan kakek.
“Selamat pagi yah, bu. Hai kek!” sapanya semangat. “Selamat pagi Eddy,” jawab ayah, ibu, dan kakeknya. Ibu telah menyiapkan sarapan mereka di atas meja makan. “Hmm, sepertinya lezat.” Eddy memandang sebuah roti isi daging asap di piringnya. “Cuci tanganmu terlebih dahulu, Eddy,” kata ibu. Eddy bergegas bangkit dari kursi dan menuju dapur untuk mencuci tangannya. Eddy memandang kebun di halaman rumahnya. Anak-anak kucing itu sedang berguling-guling di atas rumput yang hijau. Tersenyum dan kembali ke ruang makan. Dia melahap sarapannya. Dengan cepat. Ayah, ibu, dan kakek juga sudah menghabiskan sarapan mereka. Mereka membersihkan piring-piring dan gelas-gelas dari meja. Ayah meninggalkan ruang makan dan menuju ruang kerjanya. Untuk menyelesaikan pekerjaannya. Ibu harus pergi ke balai desa untuk merumuskan suatu urusan bersama orang dewasa lainnya. Dan kakek, seperti biasa mempunyai urusan yang sedang menunggu untuk diselesaikan dengan segera dan menuju mobilnya. Eddy sudah meminta izin kepada ibu sebelum ibu pergi untuk bermain sepeda bersama teman-temannya. Ibu mengizinkannya.
Eddy mengambil sepedanya dan meluncur keluar dari rumahnya. Dia menuju rumah Ray dan memanggilnya. Ray keluar mengambil sepedanya dan berjalan-jalan bersama Eddy. Mereka berpesiar ke bukit tempat Eddy dan Morris berpiknik di sana. Mereka duduk di tepi tebing. Di bawahnya terdapat laut berwarna biru dengan ombak yang mendesir-desir dan menabrak batu karang yang ada di pinggiran bawah tebing tersebut. Suara desiran air tersebut sangat disukai Eddy. Memberikan pembawaan yang tenang. Dari semak-semak, seekor kelinci meloncat dan menghampiri Ray dan Eddy. “Kelinci yang jinak,” kata Eddy. Setelah Eddy berkata seperti itu, kelinci-kelinci jenis lain ikut bermunculan keluar menghampiri dan mengendus-ngendus mereka berdua dengan hidungnya yang mungil. Mereka berjumlah empat ekor kelinci dan semuanya merupakan anak kelinci yang masih kecil.
Ray dan Eddy bangkit berdiri. Mereka akan melanjutkan pesiar mereka. Tidak sengaja Ray menginjak bagian tepi tebing yang licin. Dia terpeleset dan jatuh ke bawah tebing. Dia sempat menangkap beberapa tanaman rambat yang cukup kuat dan berada di tepi tebing tersebut. Eddy terkejut dan segera mengulurkan tangannya. Dia tidak sampai. Ray masih tergantung-gantung di bawah tepi tebing. “Bertahanlah Ray, aku akan mengambil tali dari dalam tas,” serunya. Ray tetap berusaha bergelantungan. Kalau pegangannya itu terlepas, dia pasti akan jatuh dan menimpa ujung-ujung batu karang yang sangat tajam dan dia tidak akan selamat. Laut di bawah sangat dalam airnya.
Eddy kembali dengan sebuah tali yang lumayan panjang. Dia selalu membawa peralatan seperti itu di dalam tasnya kemana pun ia pergi. Dia mengikat ujung tali tersebut kepada sebatang pohon besar yang rindang dengan kuat. Pohon itu tidak jauh dari tepi tebing. Ujung tali yang lainnya ia lemparkan ke bawah jurang dan menyuruh Ray untuk berpegangan pada tali tersebut dan Eddy akan menariknya. Tali itu sangat panjang rupanya. Ray dapat menangkapnya dan kemudian bergelantungan di tali tersebut. “Aku sudah dapat Edd,” serunya dari bawah. Eddy segera menarik tali tersebut dengan sekuat tenaga. Sedikit demi sedikit Ray terangkat naik. Ketika sudah sampai di atas, dia segera memanjat tepi tebing tersebut dengan bantuan Eddy. “Terima kasih Eddy, seram sekali rasanya tergantung-gantung di bawah tadi. Ombak-ombak itu seperti akan menarikku ke bawah. Ujungnya saja tadi dapat mencapai bagian bawah sepatuku,” kata Ray bersyukur. Lalu mereka menuju ke tempat sepeda mereka diletakkan. Mereka berdua membicarakan hal-hal yang menyenangkan selama bersepeda.
Hari Kamis nanti, Eddy beserta keluarganya dan Ray jika dibolehkan akan berkunjung ke tempat tinggal Morris. Eddy tidak sabar menantinya. “Hmm, hari kamis lama sekali datangnya ya?” kata Eddy. Ray mengangguk setuju. Kemudian tertawa. Eddy menatapnya bingung. “Kau kenapa?” tanyanya. Ray menggeleng. “Tidak apa-apa,” jawabnya kemudian. “Aku hanya teringat dengan pesawat yang penuh dengan koala-koala manis dan lucu itu,” lanjutnya. Kemudian Eddy tertawa. Ray mendengus. Lalu mereka berdua tertawa bersama.
Hari ini hari Rabu. Mereka sedang menikmati makan malam buatan ibu. Eddy terus-terusan bicara tentang hari esok saat dia akan bertemu dengan Morris. Dia tersedak. Ibu yang duduk di sebelah Eddy menepuk-nepuk pundaknya dan menyodorkan segelas air putih. Eddy meneguknya. “Heh, kau kan sudah kuperingatkan agar tidak berbicara terburu-buru. Apalagi saat sedang makan,” kata ayah. Tertawa pelan melihat Eddy dengan raut muka menahan malu. Kakek ikut tertawa melihatnya. Setelah itu, Eddy tidak berbicara lagi sampai waktunya untuk tidur. Tidak ingin kejadian seperti tadi terulang lagi. Eddy bermimpi bahwa dirinya dan Morris bertemu dan bermain-main bersama lagi. Di dalam mimpinya, Eddy melihat Morris tinggal di rumahnya seperti dulu tanpa ada orang jahat yang mengincarnya. Tanpa harus menyembunyikan diri dari manusia-manusia lain termasuk ayah, ibu, dan kakek.
Eddy mengerjap-ngerjapkan matanya ketika sinar matahari menyentuh wajahnya. Dia mengingat-ngingat ini hari apa lalu bersorak keras. Bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas bersiap-siap. “Kukira hari ini tidak akan pernah ada. Habis, lama sekali datangnya!” Ibu menggeleng-geleng melihatnya. Setelah menghabiskan sarapan, mereka mempersiapkan barang-barang yang dibutuhkan di sana. Kemudian memasukkannya ke dalam mobil. Ray telah datang dan sudah mempersiapkan dirinya. Ibu duduk di depan di samping ayah yang menyetir. Sedangkan kakek, Ray, dan Eddy duduk di belakang. Mobil tersebut berjalan perlahan-lahan di pusat kota. Suasa di sana ramai dan padat sehingga ayah tidak dapat mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang lebih tinggi dari sekarang. Mereka menikmati perjalanan menuju bandara dengan tertawa dan bernyanyi bersama-sama. “Bu, aku lapar,” keluh Eddy. Ibu tersenyum mendengarnya kemudian memberikan sebatang cokelat yang lezat pada Eddy dan Ray. Mereka memakan cokelat tersebut sampai habis tak tersisa dan tidak menawarkan cokelat itu untuk dibagi bersama pada siapapun.
Suara seorang petugas bandara terdengar melalui megaphone. Menandakan para penumpang pesawat tersebut harus segera masuk ke dalam pesawat. Mereka bergiliran memasuki pesawat melalui sebuah tangga yang cukup tinggi. Di atasnya terdapat fiber yang berfungsi sebagai atap. Garbarata. Pesawat tersebut bergerak maju secara perlahan-lahan dengan di dorong oleh sebuah mobil khusus untuk bersiap-siap terbang. Cukup lama mereka terbang. Ayah, ibu, Ray dan kakek sudah terlelap tidur. Sementara Eddy tidak dapat tidur memikirkan akan bertemu Morris. Dia menyibukkan dirinya dengan membaca buku-buku komik yang dibawanya. Dia meletakan buku-buku tersebut di dalam tasnya. Tasnya yang sewaktu pertama kali bertemu dengan John, tempat Morris menukar dirinya dengan sebuah boneka koala, dan tempat Morris disembunyikan dari manusia-manusia lain saat akan pergi bersama Eddy.
Pesawat tersebut mendarat di bandara. Ayah dan ibu bergegas mengurus bagasi. Tempat pengambilan barang-barang mereka. Langit sudah gelap ketika mereka keluar dari bandara. Jadi, mereka semua menginap di hotel terdekat untuk beristirahat. “Yah, kenapa kita tidak langsung ke tempat Morris?” tanya Eddy. “Sekarang sudah malam Edd. Aku yakin Morris juga pasti sudah tidur. Besok kita akan ke sana.” Eddy mengangguk. Dirinya juga sudah merasa lelah. Tadi dia tidak tidur sama sekali.
“Kenapa Eddy belum datang juga? Apa dia tidak jadi datang dan tidak akan pernah datang ke sini?” gumam Morris. Dia sedang berbaring di sebuah dahan pohon yang cukup besar dan nyaman. Memandang dahan pohon lain yang berada di atasnya. Dahan-dahan pohon tersebut di pakai para koala yang lain untuk tidur. Mereka memilih dahan pohon masing-masing yang akan digunakan untuk tempat tidur selama mereka hidup. Morris memilih dahan pohon yang berada di tengah-tengah dahan pohon lainnya. Di bawahnya masih ada dahan pohon lain. Begitu pula di atasnya. Dia sudah merasa nyaman dengan dahan tersebut ketika pertama kali terlahir ke dunia. Lalu dia terlelap.
“Ibu, ayah, kakek! Ayo cepatlah, aku dan Ray sudah tidak sabar bertemu Morris,” seru Eddy. Mereka semua berangkat menuju rumah Morris. Eddy dan Ray menyanyi bersama dan tertawa senang. “Aku tidak percaya kita dapat bertemu Morris lagi!” kata Ray. “Kau harus percaya Ray, aku juga sangat senang,” jawab Eddy. Mereka memasuki sebuah padang rumput yang warnanya menguning. Eddy dan Ray tidak berhenti melihatnya dari jendela. “Kira-kira, dimana pohon tempat Morris tinggal?” tanya Ray. “Entahlah. Aku sudah tidak sabar ingin cepat-cepat turun,” kata Eddy. Ayah menghentikan mobilnya dan memakirkannya agak jauh dari beberapa pohon. Di pohon-pohon tersebut terlihat koala-koala seperti Morris. Mereka semua turun dari mobil dan mendatangi pohon-pohon itu.
“Wah, manusia-manusia itu datang lagi,” seru Argent. Ello dan Dee segera menghampiri. “Tetapi, aku belum pernah melihat mereka,” kata Ello. Dee mengangguk. Morris menghampiri sepupu-sepupunya. “Ada apa?” Tetapi dia melihat manusia-manusia yang sudah tidak asing lagi baginya. Kali ini mereka datang dengan dua manusia kecil dan tiga manusia dewasa. “Itu...” Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, dia sudah meluncur turun dari pohon Eukaliptus. Morris menghampiri manusia-manusia tersebut. Mereka adalah Eddy beserta keluarganya dan Ray. Eddy dan Ray berlari menghampiri Morris. Setelah mereka sampai, Eddy mengangkat Morris dan mendekapnya. “Hei teman!” sapa Morris. Eddy dan Ray tertawa. “Aku sangat merindukan kalian,” lanjut Morris. “Yeah! Tentu saja kami juga!” seru Eddy dan Ray bersama. “Aku kira kalian tidak akan pernah datang. Aku kira surat-surat tersebut hanya khayalanku saja. Aku sudah pesimis bahwa kalian tidak jadi datang. Dan aku salah!” seru Morris panjang lebar. Koala-koala yang lain heran mendengar saudara koalanya berteriak-teriak dalam bahasa manusia seperti itu. Beberapa koala kecil berjalan turun dari atas dahan-dahan pohon menghampiri manusia-manusia asing yang tampaknya sangat bersahabat dengan saudara sepupu mereka tersebut. Termasuk Ello, Dee, Argent, Wilfrid, Lesley, dan beberapa koala kecil yang bernama Bill, Lucas, dan Brooke.
Melihat koala-koala kecil yang lain berjalan ke arah mereka, Eddy berjongkok dan menyapa mereka satu persatu. “Hai! Aku Eddy. Ini Ray. Aku dan Morris, maksudku Oliver sudah pernah bertemu sebelumnya dan menjadi teman,” katanya. Koala-koala tersebut menatapnya bingung. “Eh, apa yang manusia ini katakan?” kata Argent. Koala yang lain menyetujuinya. “Hmm, dia bilang kalau namanya Eddy. Dan anak yang di sampingnya bernama Ray. Mereka semua adalah temanku sewaktu aku pergi dari sini. Mereka yang menjagaku,” jelas Morris kepada sepupu-sepupunya. “Ooouh,” gumam mereka. “Apa yang dikatakan mereka, Morris?” tanya Eddy penuh rasa ingin tahu. “Ehhm, sebentar,” katanya. Morris mengambil napas dan berseru, “Ooouh!” Eddy tampak bingung seperti koala-koala kecil tadi. “Itulah yang mereka katakan,” lanjut Morris. “Itu sudah menjadi kebiasaan kami para koala jika menanggapi sesuatu yang menakjubkan. Menurut kami.” Eddy dan Ray mengangguk. Sementara ayah dan ibu sedang sibuk dengan koala-koala lain yang merasa penasaran dengan mereka.
Morris mengajak Eddy dan Ray berkunjung ke pohonnya. Mereka berdua menyetujui. Di belakang, koala-koala kecil sepupu Morris mengikuti mereka. Setelah berada di depan pohon Eukaliptus, koala-koala yang dari tadi tidak memedulikan mereka dan tidak ikut menyongsong menatap Eddy dan Ray secara bergantian. “Ini semua keluargaku,” kata Morris dengan semangat. “Wah, mereka sangat menarik,” jawab Ray. Kemudian tatapan mereka beralih ke Morris. Morris menjelaskan pada mereka dalam bahasa koala tentang teman manusianya ini. Mereka semua berseru seperti yang mereka lakukan biasanya. Eddy dan Ray sudah tahu kalau jadinya bakalan begini. Setelah itu, Morris mengajak Eddy dan Ray menuju batu besar yang sering dia kunjungi untuk mengobati rasa rindunya pada Eddy. Sebenarnya tidak ada sesuatu hal apapun yang menyebabkan batu itu menjadi obat dari rasa rindunya tesebut. Dia hanya merasa nyaman duduk di atas batu tersebut dan memandang ke bawah tempat di mana hamparan padang rumput yang berwarna kekuningan berada. Biasanya di bawah banyak terdapat jerapah-jerapah yang sedang makan dari pucuk-pucuk pohon yang paling tinggi sejauh yang bisa dicapai si jerapah. Dia merasa terhibur ketika melihat kepala jerapah itu mencapai bagian-bagian yang paling tinggi tanpa harus memanjat pohonnya terlebih dahulu. Menurutnya itu sangat… fantastic, mungkin? Ketika Eddy dan Ray melihat ke bawah, mereka merasa takjub sama seperti Morris. “Wah, besar sekali longo-an mulutmu, Eddy,” goda Morris. Eddy langsung menutup mulutnya sementara Ray tertawa terbahak melihatnya. Wajah Eddy memerah, “Sudah ah,” katanya. “Hahaha,” tawa Morris dan Ray sampai mereka terbatuk-batuk. “Tuh, kan. Lihat sendiri akibatnya,” kata Eddy sambil tergelak mendengar Ray dan Morris terbatuk-batuk saking kerasnya tawa mereka tadi.
“Hmm, Morris. Bagaimana kalau kau ikut dengan kami dan tinggal bersama kami saat kami akan pulang? Lagipula kau yang bilang kalau kau kesepian di sini. Kau boleh meminta izin dengan ibumu,” tawar Eddy. Ray mengangguk-angguk. Semoga Morris mau menerima tawarannya. “Hmm,” gumam Morris. “Sebenarnya, aku sangat menginginkannya, Edd. Tapi, aku juga tidak yakin. Aku baru saja bertemu dengan saudara-saudaraku. Tapi disisi lain, aku sangat kesepian. Paling-paling hanya ada Ello dan saudaranya yang lain yang selalu mengajakku bermain bersama mereka.” Eddy mengerti. “Sebaiknya kau pikirkan dulu matang-matang. Sore nanti, aku dan Ray harus pulang. Di sini kan tidak ada tempat untuk kami tidur,” kata Eddy. “Em, baiklah. Beri aku waktu sepuluh menit kalau begitu. Kalian boleh melihat-lihat ke sekitar rumah kami,” jawab Morris menyetujui. Eddy dan Ray meninggalkan Morris yang mulai berpikir secara matang tentang hal ini.
“Ha, aku memutuskan untuk ikut bersama kalian. Aku akan membicarakan hal ini pada ibu dan saudara-saudaraku.” Eddy dan Ray tersenyum senang sementara Morris bergegas turun dari batu besar tersebut dan berjalan cepat ke arah pohon Eukaliptusnya. Rumahnya. Setelah sampai, dia memanjat pohon tersebut dan menuju dahan di mana ibunya berada.
“Bu, apakah aku boleh ikut bersama manusia kecil temanku?” tanya Morris dalam bahasa Koalanya. Ibunya agak terkejut mendengar kata-kata itu. “Jadi, boleh ya bu?” tanya Morris sekali lagi. Memastikan. Koala betina dewasa tersebut tampak berpikir sebentar kemudian berkata, “Apa yang kau rasakan selama kembali pulang ke sini, Oliver?” Morris pun menjawab pertanyaan ibunya tersebut, “Eh, aku senang bertemu dengan ibu dan yang lainnya kembali. Tapi, tidak ada yang dapat kulakukan di sini.” Ibu Morris mengangguk-angguk mengerti. “Baiklah, kalau itu kengininanmu,” katanya kemudian. Morris tersenyum senang kemudian memeluk ibunya dan kembali ke tempat Eddy dan Ray berada dengan terus menjaga senyum lebarnya yang manis.
Ketika Eddy dan Ray melihat Morris berjalan mendekat dengan tersenyum, mereka langsung tahu bahwa Morris membawa kabar gembira. “Aku akan ikut. Aku benar-benar akan ikut dengan kalian,” katanya begitu sampai. “Kami tahu kau pasti akan bilang begitu,” jawab Eddy. “Apa maksud kalian? Kalian menguping pembicaraan itu ya?” tebak Morris. Eddy dan Ray tertawa dan membuat Morris semakin bingung. “Apa sih yang kalian tertawakan?” tanyanya lagi. “Hmm, tentu saja kami tahu. Kau menemui kami dengan senyum lebar seperti itu. siapa yang tidak tahu kalau kau membawa kabar gembira?” jelas Ray. Morris berpikir sebentar. Kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, ya, ya, benar juga,” katanya akhirnya. Eddy dan Ray meringis mendengarnya dan Morris balas meringis. Kemudian mereka tertawa sambil berjalan menuju pohon Eukaliptus Morris untuk berpamitan.
Ketika Morris, Eddy, dan Ray sedang berpamitan dengan koala-koala lainnya, ada beberapa koala yang menyelinap turun dari pohon tersebut dan berjalan cepat menuju mobil milik Eddy. Ketika mereka sampai, dengan sembunyi-sembunyi koala-koala tersebut memasuki mobil dan menyelinap di belakang Ayah dan Ibu yang sedang memanggil-manggil Eddy dan Ray untuk segera menyudahi acara berpamitan tersebut. Ketika memasuki mobil, mereka menemukan tiga buah tas besar-besar. Mereka segera memasuki ketiga tas besar tersebut dan menutup resletingnya dengan menyisakan sedikit untuk bernapas.
Eddy, Ray, Morris, Ibu, dan Ayah memasuki mobil. Mobil mereka cukup luas sehingga barang-barang tersebut tidak perlu ditaruh di bagasi yang memang sengaja dibuat sempit agar banyak terdapat sisa di bagian tengah dan depannya. Selama di perjalanan mereka terus bernyanyi-nyanyi menikmati gerakan mobil yang membuat mereka terguncang ketika melewati daerah yang jalanannya rusak. Hari sudah mulai gelap. Tiba-tiba mobil mereka berhenti. Seluruh penumpang yang berada di dalamnya terdorong ke belakang.
“Apa yang terjadi?” tanya Eddy. “Tidak tahu, sepertinya mogok,” jawab Ayah. “Mogok? Apakah di sini ada bengkel terdekat?” tanya Ray. “Entahlah, aku akan berjalan ke depan mencari bantuan orang lain,” kata ayah kemudian sambil membuka pintu mobil dan pergi. Ayah pergi cukup lama.
“Hhh, baiklah. Sekarang apa yang akan kita lakukan?” tanya Eddy. Merosot sedikit ke bawah untuk mencari posisi tidur. Semua terdiam. Kemudian terdengar suara ayah memanggil-manggil dari kejauhan.
Ayah mengatur napasnya ketika sampai di mobil. Kemudian berkata:
“Di depan sana ada bengkel yang masih bersedia buka. Letaknya kira-kira satu setengah kilometer dari sini. Kita harus mendorong mobil ini terlebih dahulu. Eddy, Ray, kalian harus ikut membantu. Kau juga Mary, kita harus bekerja sama,” jelas Ayah. Kemudian Ayah, Ibu, Eddy, dan Ray turun dari mobil dan mengambil bagian masing-masing untuk mendorongnya. Morris tinggal di dalam karena dia bertubuh kecil dan tidak mungkin mendorongnya. “Satu, dua, tiga.. hhh,” Ayah memberikan aba-aba pada mereka semua dan mulai mendorong mobil yang juga mulai bergerak maju perlahan-lahan.
“Aduhh, seberapa jauh lagi Yah, bengkelnya?” tanya Eddy. Mereka sudah mendorong cukup jauh. “Sebentar lagi sampai, itu dia! Di samping rumah besar tua itu!” jawab ayah sambil mencondongkan kepalanya ke depan sebagai penunjuk. Ketika mereka telah sampai di depan bengkel tersebut, seseorang segera menghampiri dan segera memeriksa mobil yang mogok tersebut. Saat mereka semua sedang menunggu di luar mobil dan Morris memerhatikan dari dalam, resleting tas-tas besar yang di taruh di bagian belakang mobil terbuka perlahan-lahan. Resleting tersebut memang sangat bagus bahannya dan tidak mudah macet sehingga tidak mengeluarkan bunyi-bunyi apapun. Dari dalam tas tersebut ketiga kepala kecil berbulu keluar. Ello menaruh jari telunjuk di depan mulutnya pertanda jangan berisik kepada kedua saudaranya kemudian menyuruh mereka masuk kembali ke dalam tas.
Mobil pun selesai diperbaiki. Tetapi mereka harus menginap di dalam mobil bersama-sama untuk malam ini. Karena ayah sudah terlalu lelah untuk menyetir begitu pula ibu. Eddy bermimpi sangat indah malam ini. Dia tertidur begitu lelapnya. Eddy terduduk di atas tempat tidurnya kemudian memandang berkeliling. “Bagaimana bisa aku berada di sini? apa itu semua mimpi? Mimpi bahwa Morris akan pulang bersamaku?” ujar Eddy dalam hatinya dengan penuh kebingungan. Eddy terkejut ketika memandang ke lantai kamarnya yang dilapisi karpet. Di tempat yang semestinya ada karpet sekarang sudah tidak ada lagi. Bahkan, bukan hanya karpetnya saja yang menghilang tetapi juga sebagian dari lantai tersebut juga lenyap dan membentuk sebuah lubang besar berbentuk lingkaran yang sangat gelap.
Tiba-tiba, lubang tersebut bercahaya. Cahaya yang sangat terang dan memancarkan warna-warna pelangi dengan suara yang sangat ribut seperti suara alat penyedot debu. Seperti suaranya, benda tersebut juga menyedot segala sesuatu yang berada di sekitarnya termasuk Eddy. Eddy berteriak meminta tolong sekeras-kerasnya. Tetapi, tidak ada yang datang mendobrak pintu ataupun mengetuk dan memanggil-manggil namanya menanyakan apa yang terjadi padanya. Eddy terus tersedot semakin dalam ke lubang yang sempit dan lembab. Sementara cahaya dari lubang tersebut telah redup dan makin lama menghilang bersamaan dengan hilangnya lubang itu. Dasar dari lubang tersebut adalah sebuah padang rumput yang teduh dan sejuk. Eddy terjatuh di atas rumput-rumput hijau. Kelinci-kelinci yang sedang bermain-main di dekatnya segera memasuki rumah mereka mendengar suara berdebum itu. Tetapi, setelah beberapa lama kemudian mereka mulai menyembulkan kepalanya dan kembali keluar dari rumahnya untuk bermain-main. Eddy tidak menemukan siapa-siapa di sana untuk ditanyainya. Kemudian dia memutuskan untuk berjalan-jalan melihat-lihat daerah sekitar tempat itu.
Ketika dia sedang berada di tengah hutan, dia mendengar sebuah suara gemerisik dari semak-semak. Eddy tahu pasti itu hanyalah binatang-binatang yang sedang bermain dan bersembunyi di balik semak-semak. Tetapi dia tetap menyibak beberapa daun-daunan di semak-semak tersebut untuk melihat yang sebenarnya. Yang dia temukan di situ bukanlah binatang-binatang. Melainkan sepasang mata yang sedang menatapnya. Tatapannya seperti takut ketahuan oleh sesuatu atau seseorang. Saat Eddy menyibak semak tersebut, pemilik sepasang mata itu tampak kaget lalu berkata, “Mungkin hewan yang menyibaknya.” Melihatnya Eddy melompat mundur dan jatuh di atas tanah kering yang merupakan jalan setapak dari hutan itu. Tiba-tiba, terdengar suara seseorang berjalan di jalan setapak tersebut. Orang itu ternyata seorang gadis kecil yang cantik. Raut mukanya seperti sedang kebingungan. Kemudian semak-semak yang disibakkan oleh Eddy itu bergemerisik lagi. Gadis itu pun mendekati asal bunyi tersebut dan mengintip ke balik semak-semak. Sama seperti Eddy dia juga melihat sepasang mata balas menatapnya. Sepasang mata itu milik seorang anak laki-laki yang kira-kira lebih tua dua tahun dari gadis itu. Tampaknya gadis kecil itu tidak menyadari keberadaan Eddy yang sedari tadi memperhatikannya dan berdiri tepat dibelakangnya.“Hei, siapa kau?” tanya anak laki-laki tersebut. Gadis itu terkejut ketika anak laki-laki itu melompat keluar dari balik semak-semak dan langsung bertanya pada dirinya. “Aku Sabrina, kau siapa?” Setelah menanyakan hal tersebut, gadis kecil yang ternyata bernama Sabrina tampak tersadar akan sesuatu. “Hmm, apa yang kau lakukan di sini? Aku belum pernah melihat orang lain selain kakek,” jawab anak itu tanpa menghiraukan pertanyaan Sabrina. “Hei! Aku sepertinya tersesat, dari tidak ada yang bertanya padaku. Apakah dari kalian ada yang tahu jalan keluar dari hutan ini?” tanya Eddy akhirnya setelah menyadari tak ada yang mempedulikannya. “Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa berada di sini. Maukah kau membantuku mencari jalan pulang?” Sabrina tetap berbicara pada anak laki-laki tersebut seperti tidak mendengar apa yang diucapkan Eddy begitu pula anak laki-laki tersebut yang sama sekali tidak memandangnya. Anak laki-laki tersebut menaikkan bahunya. “Mungkin,” jawabnya pendek. Anak itu pun mulai berjalan meninggalkan Sabrina yang masih kebingungan. “Hei! Tunggu!” teriak Sabrina sambil terengah-engah mengejar langkah anak laki-laki aneh itu. “Hei! Tunggu juga! Mau kemana kalian? Aku kan sedang bertanya pada kalian!,” ujar Eddy sembari mengikuti dua anak aneh yang ia temui ini dan sama sekali tidak membantunya, terlebih lagi mereka sama sekali tidak menghiraukannya dan membuat ia semakin merasa bingung.
Mereka sampai di tepi pantai. Dari kejauhan, terlihat bentangan luas berwarna biru jernih dan beberapa batu karang yang sering dijadikan tempat bertengger burung Camar. Di dekat sebuah batu karang besar yang berada di atas pasir, terdapat sebuah perahu beserta dayungnya. Anak laki-laki itu pun menuju perahu dan mendorongnya masuk ke air sampai mencapai ketinggian selutut anak itu. Eddy mengikutinya dan masuk ke dalam perahu. Anak laki-laki yang belum diketahui namanya itu menyuruh Sabrina untuk menaiki perahu tersebut terlebih dahulu baru kemudian menaiki perahu dan mendayungnya menuju tengah-tengah pantai. Gadis kecil itu hampir menduduki Eddy kalau Eddy tidak segera bergeser ke samping. “Hey! Kau tidak melihatku duduk di sini?” tanya Eddy pada Sabrina. Sabrina diam saja. Dia sedang memerhatikan anak laki-laki yang sedang mendayung perahu dengan cekatan. Tampaknya dia ingin mencoba tetapi tidak berani mengutarakannya. “HEY!” teriak Eddy lagi. Tetapi, baik Sabrina maupun anak laki-laki tersebut tidak ada yang menjawabnya atau neriakinya kembali bahwa dia sangat berisik sedari tadi. Mereka hanya diam. Eddy melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Sabrina. Sabrina tetap diam seperti tidak ada sesuatu hal apapun yang mengganggunya. Tiba-tiba, Sabrina menatap tepat ke arahnya dan menunjukkan jari telunjuknya menembus kepala Eddy. Eddy kaget melihatnya tetapi Sabrina terihat tampak kagum sambil berkata, “Wah! Indah sekali pulau itu! Adakah penghuninya?” Eddy baru saja menyadari bahwa mereka tidak bisa mendengarnya, melihatnya, dan menyentuhnya. Tetapi dia bisa! Eddy sangat terkejut tadi saat tangan Sabrina menembusnya seakan-akan dia tidak ada. Apa aku sudah mati?, pikirnya. Tetapi dia cepat-cepat membuang pikiran itu. Mana mungkin!, ucapnya dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Mungkin aku sedang berada di suatu dunia yang aku sendiri tidak dapat memikirkannya dunia apa itu? ya! Pasti seperti itu! Oleh karena itu, mereka tidak bisa mendengar, melihat, dan menyentuhku walaupun aku bisa mendengar dan melihat mereka. Tapi aku juga tidak bisa menyentuh mereka!, ucapnya lagi. “Ya, tetapi hanya binatang-binatang hutan seperti kera dan sebagainya,” ujar anak laki-laki tersebut menjawab pertanyaan gadis kecil bernama Sabrina. Di perjalanan, Sabrina bertanya kembali siapa anak itu sebenarnya. Anak itu berkata bahwa namanya adalah Jo. “Apakah kau tahu kenapa di sini hanya tinggal aku dan kakek?” tanya anak itu tiba-tiba. “Hmm, tentu tidak. Kau mau memberitahuku?” Jo menoleh ke arah Sabrina dan kemudian memulai ceritanya. Eddy juga ingin mendengarkan. Jadi ia memandangi anak laki-laki yang ternyata bernama Jo itu dan menunggunya. “Dahulu sekali, daerah ini merupakan daerah paling aman dan tenteram karena dipimpin oleh seorang Raja yang arif. Tetapi kemudian, seorang yang keji datang ke negeri kami dan menghasut seluruh prajurit, pembantu maupun dayang-dayang Raja, serta penasihat kerajaan, untuk menjatuhkan Raja dari kekuasaannya dan mengambil alih itu semua. Bahkan, dia berhasil menghasut Sang Permaisuri untuk meninggalkan Raja dan menjadi istrinya. Sehingga Raja tidak dapat melakukan apa-apa. Kami tidak dapat membantu. Jika ada yang diketahui melawan orang keji tersebut, maka dia beserta keluarganya akan dibakar hidup-hidup secara bergantian sehingga tidak ada yang berani melawannya.” “Lalu?” “Lalu semenjak itulah dia memimpin negeri kami sesuka hatinya saja dan merampas seluruh yang kami punya. Setelah terbuangnya Raja ke hutan, Raja terus mencari cara dan bantuan untuk mendamaikan negerinya.” Sabrina dan Eddy terus mendengarkan dengan saksama, menunggu lanjutan ceritanya.
“Suatu hari, saat Raja akan melanjutkan perjalanannya kembali dia menemukan segerombol bajak laut yang terdampar di pulau tersebut karena kapalnya kandas. Raja segera memanfaatkan kesempatan ini untuk meminta bantuan kepada mereka. Segerombol perompak laut itu seluruhnya berjumlah empat puluh enam orang. Dan tidak ada yang tidak dapat memainkan pedang atau apapun jenis senjata untuk berperang yang dibutuhkan saat ada perompak lain yang terlihat keberadaannya mengancam mereka. Singkatnya, Raja yang bijak dan cerdas pun berhasil meminta bantuan kepada para perompak untuk menghancurkan orang keji tersebut. Setelah itu, terjadilah perang antara orang keji itu beserta prajurit Raja yang terhasut dan Raja beserta para perompak kapal. Sebelum itu, Raja menyuruh seluruh penduduk negeri termasuk aku, kakek, dan orangtuaku untuk mencari tempat bersembunyi sementara. Karena orang keji itu akan menebas siapa saja yang mereka temui. Tetapi mereka memilih untuk meninggalkan tempat ini selamanya. Saat sedang mencari tempat sembunyi, kedua orangtuaku terbunuh. Setelah pertempuran itu, tidak ada yang tersisa. Semuanya mati terbunuh kecuali satu orang prajurit. Tetapi dia terluka parah, kemudian esok harinya ia meninggal dunia.” Sabrina dan Eddy mengangguk-angguk. “Lantas kenapa kau dan kakekmu tidak ikut pindah bersama para penduduk yang lain?” “Kakekku bilang inilah rumah kita, sudah tidak ada lagi pertempuran dan kita tidak akan terganggu,” jelas Jo. “Apakah kau tidak merasa kesepian tinggal berdua saja dengan kakekmu?” “Sebenarnya aku sangat merasa kesepian. Aku tidak terbiasa berbicara dengan orang lain selain kakek. Kakekku juga sudah sangat tua. Terkadang aku harus meminta kakek agar mengulangi ucapannya atau mendengarkan dengan sungguh-sungguh apa yang dibicarakan kakekku,” jawab Jo. Sebenarnya Eddy ingin bertanya juga tetapi dia sadar bahwa dia tidak dapat dilihat dan didengar. Kemudian Jo menundukkan kepalanya sambil terus mendayung mendekati sebuah pulau kecil di tengah-tengah laut yang biru.
Seketika itu juga laut di depan mereka berputar membuat sebuah pusaran besar. Air laut mengalir deras di bawah perahu mereka dan menyeret mereka lebih cepat di antara batu-batu karang tajam yang berserakan. Pulau kecil itu berada di samping mereka. Tetapi arus menyeret mereka lebih cepat ke arah batu karang. Perahu mereka menabrak sebuah batu karang tajam sehingga ujung perahu itu hancur berantakan dan melemparkan seluruh isi perahu ke arah pulau tersebut dengan benturan yang keras. Sabrina dan Jo pun ikut terlempar ke pulau yang tadi ditunjuk Sabrina. Sementara Eddy sudah terlebih dahulu terseret ke dalam pusaran air yang membawanya semakin lama semakin masuk ke kedalaman laut yang dingin airnya itu. Dia berteriak sekencang-kencangnya dan semuanya pun gelap.
Eddy terlompat bangun dan mendapati dirinya sedang berada di kamar tidurnya yang nyaman. “Oh! Hanya mimpi!” ucapnya sambil bersyukur dan merasa lega bahwa itu tidak benar-benar terjadi. Tiba-tiba saja, Eddy mendengar suara-suara yang sangat ribut. Suara tersebut seperti suara binatang. Tetapi suara ini menyiratkan bahwa mereka sedang dalam ketakutan dan berusaha menyelamatkan diri. Eddy juga mendengar suara-suara jejak kaki hewan-hewan besar yang sedang berlari dengan kencang seperti di hutan. Tetapi dia berpikir lagi, bagaimana bisa ada hewan-hewan liar di dekat rumahnya? Eddy pun melihat ke arah jendela kamarnya dan melihat segerombolan hewan-hewan liar baik kecil maupun besar berlari-lari menghindari sesuatu berwarna kemerah-merahan menyala-nyala yang menghancurkan apa saja yang dilewatinya. Eddy sangat terkejut dan tidak bisa memercayai apa yang dilihatnya. Di benaknya, muncul pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab sendiri olehnya. Sebelum sempat memikirkan jawaban dari satu pertanyaan yang ada di otaknya, Eddy melihat api itu semakin dekat menuju ke arah rumahnya. Eddy tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia sama sekali tidak dapat berpikir apa lagi bertindak melakukan sesuatu sampai api itu mulai membakar rumahnya. Eddy menutup matanya dan berteriak sekencang-kencangnya berharap ia selamat atau diselamatkan. Seseorang menarik-narik tubuhnya. Bahkan ada yang meneriakinya sesuatu tepat di telinganya yang membuat ia terlonjak kaget.
“Eddy! Ada apa denganmu?” tanya suara yang tidak asing lagi. “Hah?” Eddy melihat ke sekeliling. “Oh, syukurlah! Itu semua hanya mimpi!”teriak Eddy kemudian. “Memangnya kau bermimpi tentang apa? Sampai berteriak-teriak seperti itu?” tanya suara itu lagi. Suara itu adalah suara koala kecil sahabat Eddy, Morris. “Memangnya berapa lama aku tertidur?” Eddy balik bertanya. Mobil mereka yang sudah diperbaiki itu sedang melaju kencang di jalanan yang sepi melewati pedesaan yang di kiri-kanan jalannya terdapat rumah-rumah seperti rumah-rumah tua bersejarah. “Kita sudah hampir keluar dari pedesaan ini menuju ke bagian kota. Kau tertidur lama sekali dan sesekali berteriak. Memangnya ada apa?” tanya Morris.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar